TRADISI SEDEKAH KAMPUNG PERADONG
DI KECAMATAN SIMPANG TERITIP BANGKA BARAT
Oleh: Suryan Masrin
Pendahuluan
Setiap bangsa dan suku bangsa
memiliki agama sebagai kepercayaan yang mempengaruhi manusia sebagai individu,
juga sebagai pegangan hidup. Di samping agama, kehidupan manusia juga
dipengaruhi oleh kebudayaan. Kebudayaan menjadi identitas dari bangsa dan suku
bangsa. Suku tersebut memelihara dan melestarikan budaya yang ada (Agus,
2002:15). Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia menurut
Alisyahbana; merupakan suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari
unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum,
moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat (Hakim dan Mubarok, 2006:28. Dalam masyarakat, baik yang
kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain
saling berkaitan hingga menjadi suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman
dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap
arah kehidupan warga masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1990:190).
Tradisi sebagai salah satu
bagian dari kebudayaan menurut pakar hukum F. Geny adalah fenomena yang selalu
merealisasikan kebutuhan masyarakat. Sebab yang pasti dalam hubungan antar
individu, ketetapan kebutuhan hak mereka, dan kebutuhan persamaan yang
merupakan asas setiap keadilan menetapkan bahwa kaidah yang dikuatkan adat yang
baku itu memiliki balasan materi, yang diharuskan hukum. Kaidah ini sesuai
dengan naluri manusia yang tersembunyi, yang tercermin dalam penghormatan
tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika melanggar apa
yang telah dilakukan pendahulu mereka (Aliyah, 2004:512.
Menurut Prof. Mr. Hardjono dalam Beratha (1982:22)
memberikan ulasan singkat bahwa tradisi adalah suatu pengetahuan atau
ajaran-ajaran yang diturunkan dari masa ke masa. Ajaran dan pengetahuan
tersebut memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan
dan kebenaran yang relatif. Dengan demikian segala kenyataan dan kebenaran
dalam alam yang lebih rendah itu adalah peruntukan (application) daripada prinsip-prinsip universal. Sedangkan menurut
Dahri (2009:45), tradisi didefinisikan sebagai berikut:
Tradisi adalah suatu kebiasaan yang teraplikasikan
secara terus-menerus dengan berbagai simbol dan aturan yang berlaku pada sebuah
komunitas. Awal-mula dari sebuah tradisi adalah ritual-ritual individu kemudian
disepakati oleh beberapa kalangan dan akhirnya diaplikasikan secara bersama-sama
dan bahkan tak jarang tradisi-tradisi itu berakhir menjadi sebuah ajaran yang
jika ditinggalkan akan mendatangakan bahaya.
Tradisi-tradisi tersebut dapat
disaksikan pada; ’Upacara Tawar
Laut/Ketupat Laut’, ’Tahun Baru Cina’, ’Sembahyang Kubur Cina’, ’Sembahyang
Pantai’, ’Kawin Massal’, ’Perang Ketupat’, ’Mandi Belimau’, ’Sedekah Kampung’,
’Rebo Kasan’, ’Nganggung’ dan lainnya
yang dilakukan di Kepulauan Bangka Belitung. Tradisi ini dilakukan sebagai
pengungkapan atas rasa syukur terhadap anugerah
yang telah diberikan oleh Sang Pencipta, yang kental dengan nuansa
keagamaan. Pewarisan tradisi tersebut dapat terjadi melalui pertunjukkan
upacara adat pada suatu masyarakat.
Sejalan dengan pengertian di
atas, upacara di sini merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang
bertindak dan bersikap terhadap suatu gejala yang diperolehnya melalui proses
belajar dari generasi sebelumnya dan kemudian harus diturunkan kepada generasi
berikutnya (Abdullah, 2002:4). Ritual keagamaan yang dibungkus dengan bentuk
tradisi ini dilakukan secara turun temurun dan berkelanjutan dalam periodik
waktu tertentu, bahkan hingga terjadi akulturasi dengan budaya lokal (Abdullah,
dkk, (ed.), 2008:187). Seperti apa yang diperlihatkan masyarakat Bangka
Belitung dalam pengungkapan rasa syukur atas anugerah yang diberikan oleh Sang
Pencipta tersebut.
Persiapan Sebelum Upacara
Perayaan Sedekah Kampung telah dilaksanakan secara turun
temurun dan tidak diketahui asal usul serta awal mulai dilaksanakannya.
Perayaan ini biasa dilaksanakan penduduk Desa Peradong setiap tahun bertepatan
dengan bulan Maulud (Rabiul Awwal)
kalender Hijriyah dan acaranya berlangsung selama 2 hari yang biasanya pada
hari Sabtu dan Minggu. Biasanya acara ini dilaksanakan antara tanggal 15 sampai
30 Rabiul Awwal. Sebelum pelaksanaan
acara tersebut, jauh sebelumnya pada malam hari sang tetua adat (dukun)
sekarang Kek Jemat mengadakan ceriak
pemanggilan orang-orang kampung sebagai pemberitahuan akan dilaksankannya
upacara adat dan menentukan tanggal yang cocok untuk pelaksanaan upacara
tersebut.
Pada tanggal yang
telah ditetapkan tetua adat sebagai pawang desa dengan dibantu penduduk
setempat memulai membuat batu persucian (taber)
dengan menggunakan bahan-bahan tradisional serta dedaunan dan gaharu (dupa)
dari kayu buluh (bambu). Menurut sang
dukun, dahulu kala penggunaan dupa ini adalah sebagai alat untuk menarik minat
orang-orang cina yang berdiam di desa tersebut agar memeluk agama Islam (Dinas
Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, t.t: 6).
Dalam pelaksanaannya, telah mengalami perubahan walaupun
hanya dalam hal yang seremonial, contohnya saja dalam hal perayaan yang
dahulunya hanya dengan menampilkan musik tradisional, seperti dambus dan campak
sebagai hiburan. Sedangkan sekarang sudah dengan musik yang modern. Dari segi
ritus, tidak banyak mengalami perubahan, hanya saja dahulunya lebih banyak
mengandung mistik, sedangkan sekarang
telah diselaraskan dengan ajaran Islam.
Jalannya Upacara
Setelah persiapan, seperti; batu persucian dan gaharu
selesai, kemudian pada hari yang telah ditentukan tersebut, tetua adat dan
masyarakat menyiapkan makanan dan minuman, serta buah-buahan, uang dan binatang
peliharaan seperti; ayam dan bebek untuk diperebutkan setelah ritual upacara
permohonan izin dilakukan. Semua peralatan telah dipersiapkan, kira-kira pukul
13.00 WIB siang dimulai dari balai adat, tetua adat bersama penduduk
arak-arakan menuju Istana dengan diiringi semarang (selawatan barzanji) guna untuk meminta izin dan memulai
pelaksanaan sedekah kampung. Setelah sampai di sana, sang dukun kemudian duduk
di atas makam bersamaan dengan dihidangkan berbagai macam jenis makanan khas
desa, uang serta hewan peliharaan seperti ayam dan bebek, kemudian mulai
pembacaan do’a dan mantera. Setelah
pembacaan do’a dan mantera selesai, penduduk naik ke atas makam dan
memperebutkan ayam, bebek dan buah-buahan serta uang yang ada di atas makam
tersebut. Upacara kemudian dilanjutkan dengan penampilan silat yang dilakukan
oleh dua orang, kemudian sang dukun dan penduduk pembantunya melakukan
pemberian tangkel (jimat) di empat
penjuru, dimulai dari istana tersebut menuju gerbang pintu masuk ke desa sampai
akhir perbatasan desa tersebut. Pemberian jimat ini dimaksudkan untuk menangkal
segala bentuk gangguan dari luar yang tidak menginginkan acara ini berlangsung.
Setelah upacara permohonan izin kepada leluhur, serta
setelah naber dan nangkel kampung selesai, kemudian dukun
(tetua adat) kembali kekediamannya. Sedangkan arak-arakan masyarakat
dilanjutkan dengan penjemputan peserta khataman
Al-Qur’an menuju masjid untuk melaksanakan tamat ngaji (betamat).
Setiap arak-arakan yang dilakukan, baik arak-arakan tamat ngaji dan sunatan
selalu diiringi dengan semarang. Upacara
ini dilakukan sebagai pertanda bahwa seorang anak yang telah melaksanakan tamat ngaji dianggap pandai membaca
Al-Qur’an. Setelah tamat ngaji
selesai, acara dilanjutkan dengan nganggung
bersama di masjid tersebut. Pada malam harinya (malam minggu) diadakan hiburan
kampung, yaitu penampilan musik Dambus dan Campak serta nyanyian lagu-lagu
daerah yang diiringi dengan tarian oleh ibu-ibu dan gadis-gadis penduduk.
Hari berikutnya, dilaksanakan upacara Sunat Kapong. Dimulai pukul 03.00 WIB,
peserta (anak-anak) yang akan disunat berendam di dalam air (dalam dialek
masyarakat setempat ’di Aek Kapong’)
kurang lebih selama 3 jam, kemudian kira-kira pukul 06.00-07.00 WIB pelaksanaan
sunatan yang dilakukan oleh mudim
(tukang sunat kampung). Setelah selesai, peserta sunatan diarak keliling
kampung dengan menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi.
Dalam pelaksanaa upacara ini, terdapat beberapa pantangan
yang harus dipatuhi oleh semua orang yang mengikuti jalannya upacara ritual
ini, yaitu duduk di atas pagar, meletakkan jemuran/pakaian berupa apapun di atas
pagar dan bermain senter. Menurut penduduk, apabila pantangan tersebut
dilanggar, maka akan didatangi oleh makhluk-makhluk halus dan mengubahnya
menjadi tepuler (kepala dengan wajah
terbalik ke belakang). Untuk tetua adat selama acara berlangsung, tidak boleh
makan dan minum (berpuasa).
Ritual Tradisi Sedekah Kampung
a.
Tamat Ngaji (Betamat)
Tamat ngaji (betamat/khataman Qur’an) merupakan
upacara yang dilakukan sebagai petanda bahwa seorang yang telah
melaksanakan tamat ngaji dianggap
telah pandai membaca Al-Qur’an. Upacara ini dilakukan dalam rangka
mensyukuri anak-anak khususnya dan remaja yang telah menamatkan bacaan
Al-Qur’an. Dalam tamat ngaji, peserta
yang ikut dalam upacara tersebut membaca surat-surat pendek dari Al-Qur’an
secara bergantian. Biasanya pembacaan surat-urat pendek tersebut dimulai dari
surat Ad-Dhuha sampai An-Naas. Anak-anak dan remaja yang tidak
(belum) pernah menamatkan pembacaan Al-Qur’an tentu tidak dapat ikut betamat. Namun bagi mereka yang telah
menamatkan Al-Qur’an boleh mengikuti
untuk kedua kalinya. Bagi masyarakat
Peradong, tamatnya anak-anak mereka membaca
30 juz Al-Qur’an merupakan sesuatu yang sangat istimewa, sehingga perlu
disyukuri secara khusus. Ritual ini memiliki makna dan fungsi yang sangat
penting dalam pendidikan keagamaan di masyarakat, karena orang yang tidak mampu
membaca Al-Qur’an atau tidak fasih dalam membacanya akan menanggung malu dan
mendapat gunjingan dari masyarakat (Zulkifli, 2007:54). Untuk upacara ini, tampuk kegiatan dipegang oleh
Penghulu mulai acara berlangsung sampai selesai.
Jalannya upacara ini dimulai
pukul 15.00 WIB dengan mengadakan arak-arakan penjemputan peserta ke rumah
masing-masing. Arak-arakan masyarakat tersebut dimulai dari balai desa diiringi
dengan semarang menuju perbatasan
kampung, kemudian setelah sebagian peserta bergabung dalam arak-arakan
tersebut, rute kembali menuju ke perkampungan. Kalau dalam upacara Sayyang
Pattudu di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat, peserta tamat ngaji duduk
di atas kuda dengan satu kaki ditekuk ke belakang, lutut menghadap ke depan,
sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan ke atas dan
telapak kaki berpijak pada punggung kuda. Dengan posisi seperti itu, para
peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang
ditunggangi menari. Dalam upacara Sedekah Kampung, peserta tamat ngaji duduk di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai
bentuk dan variasi yang didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya
dengan diikuti anak-anak dan remaja lainnya yang sebaya. Setelah semua peserta
bergabung dalam arak-arakan tersebut, rute terus dilakukan menuju ke masjid.
Setelah sampai di masjid, acara dimulai dengan sambutan dari penghulu, kepala
desa, dan guru ngaji, sebagaimana
tersusun dalam susunan acara. Kemudian mulailah tamat ngaji dilakukan, diawali oleh guru ngaji memberikan aba-aba kepada peserta. Mulailah peserta membaca
surat-surat pendek dalam Al-Qur’an, yaitu dalam juz 30 diawali dari surat Ad-Duha terus menerus secara bergantian
hingga sampai pada surat An-Naas.
Setelah selesai, dilanjutkan dengan pembacaan do’a khatam Al-Qur’an yang
biasanya dibacakan oleh penghulu. Akhirnya selesailah upacara tamat ngaji, peserta dan orang tuanya
keluar dari masjid menuju ke rumah masing-masing. Bagi orang tua yang mampu,
biasanya pada malam harinya atau ada juga sebagian yang langsung setelah tamat
ngaji mengadakan selamatan di rumahnya.
b.
Nganggung
Nganggung adalah
suatu tradisi turun temurun yang hanya bisa dijumpai di Bangka. Karena tradisi
nganggung merupakan identitas Bangka, sesuai dengan slogan Sepintu Sedulang,
yang mencerminkan sifat kegotong royongan, berat sama dipikul ringan sama
dijinjing (Zulkifli, 2007:53).
Nganggung atau
Sepintu Sedulang merupakan warisan nenek moyang yang mencerminkan suatu
kehidupan sosial masyarakat berdasarkan gotong-royong. Setiap bubung rumah
melakukan kegiatan tersebut untuk dibawa ke masjid, surau atau tempat
berkumpulnya warga kampung. Adapun nganggung merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan masyarakat dalam rangka memperingati hari besar agama Islam,
menyambut tamu kehormatan, acara selamatan orang meninggal, acara pernikahan
atau acara apapun yang melibatkan orang banyak. Nganggung adalah membawa makanan di dalam dulang atau talam yang
ditutup tudung saji ke masjid, surau, atau balai desa untuk dimakan bersama
setelah pelaksanaan ritual agama (Zulkifli, 2007:53).
Dalam acara ini, setiap kepala keluarga membawa dulang
yaitu sejenis nampan bulat sebesar tampah yang terbuat dari aluminium dan ada
juga yang terbuat dari kuningan. Untuk yang terakhir ini sekarang sudah agak langka, tapi sebagian
masyarakat Bangka masih mempunyai dulang kuningan ini. Di dalam dulang ini
tertata aneka jenis makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus dibawa.
Kalau nganggung kue, yang dibawa kue,
nganggung nasi, isi dulang nasi dan
lauk pauk, nganggung ketupat biasanya
pada saat lebaran. Dulang ini ditutup dengan tudung saji yang terbuat dari
daun, sejenis pandan, dan di cat, tudung saji ini banyak terdapat dipasaran.
Dulang ini dibawa ke masjid, atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk
dihidangkan dan dinikmati bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas,
bahkan disertai dengan rasa bangga.
Namun dalam perkembangannya
sekarang, kegiatan nganggung yang
masih eksis dipertahankan pada saat memperingati hari besar agama Islam, dan
menyambut tamu kehormatan.
c. Sunat
Kapong
Sunat atau khitan
secara harfiah berarti sama dengan sunnah dalam bahasa Arab (Saputra, 2008:17). Sunat atau khitan makna aslinya dalam bahasa
Arab adalah bagian yang dipotong dari kemaluan laki-laki atau perempuan.
Sedangkan sunat kapong adalah
pemotongan ujung penis anak laki-laki dalam ukuran tertentu yang masih
menggunakan alat-alat secara tradisional. Alat-alat tersebut seperti daun sirih berfungsi untuk
pencegah infeksi, pisau (dahulunya menggunakan bambu yang telah ditajamkan)
sebagai alat pemotong ujung penis, gunting, kapas, dan tali dari kain yang
digunakan untuk mengikat sekaligus penahan bagi penis agar tidak bergerak. Sunat dimaksudkan di sini hanya bagi laki-laki saja. Sunat
merupakan upacara pemotongan ujung penis anak laki-laki dalam ukuran tertentu
dalam ajaran Islam bagi anak yang akan memasuki akil balig. Dalam tradisi Betawi, sunat diartikan sebagai proses
atau etape pembeda. Bagi seorang anak laki-laki yang telah disunat berarti
telah memasuki dunia akil balig, maka dia dituntut atau seharusnya telah mampu
membedakan antara yang hak dan yang bathil. Ia sudah selayaknya mampu menjaga
diri dari perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan adat kesopanan di
masyarakat (Saputra, 2008:17). Dengan kata lain, seorang anak laki-laki yang
telah disunat dianggap sudah menjadi manusia yang sempurna dalam arti untuk
menjalankan kewajiban sebagaimana halnya manusia dewasa sebagai pengabdi.
Pelaksanaan upacara sunat kapong dimulai pukul 03.00 WIB peserta
(anak-anak) yang akan disunat berendam di dalam air (di Aek Kapong) kurang lebih selama 3 jam, hal ini bertujuan untuk
menahan rasa sakit pada saat pemotongan ujung penis. Setelah
berendam di Aek Kapong selama kurang
lebih 3 jam, kira-kira pukul 06.00-07.00 pelaksanaan sunatan dilakukan
oleh mudim (tukang sunat kampung),
orang Betawi menyebutnya dengan bengkong,
yang dilakukan secara bergantian kepada peserta. Sebelum memulai sunatan,
diawali dengan bacaan basmalah dan syahadatain
oleh anak yang akan disunat. Ini bertujuan untuk membawa suasana yang lebih
sakral dan lebih berkesan bagi anak yang disunat. Untuk peralatan yang
digunakan masih menggunakan alat-alat tradisional, sebagaimana telah dijelaskan
diawal. Setelah selesai, peserta sunat diarak keliling kampung dengan
menggunakan kereta hiasan dengan berbagai macam variasi.
Prosesi sunat kapong, sebagaimana dikutip dari www.kompas.com tentang proses
pelaksanaan sunatan massal di desa Kundi Kecamatan Simpang Teritip yang hampir
sama dengan proses pelaksanaan di Desa Peradong:
Menjelang
pelaksanaan khitanan adat, dini hari sekitar pukul 03.30, warga dibangunkan
dengan pukulan kenong oleh Jenang dari Balai Pertemuan sederhana yang disebut
warga Kundi sebagai balai desa. Pukulan kenong itu terdengar jauh juga,
sehingga bisa membangunkan orang yang tengah terlelap tidur. Meski demikian,
kehidupan pasar malam di Kundi yang berlangsung sampai hampir tengah malam,
agaknya banyak membuat warga Kundi kelelahan sehingga hanya sedikit yang bisa
datang ke balai desa.
Di balai desa
inilah empat anak yang akan dikhitan kemudian duduk bersama dua orang Jenang, dibacakan doa, sementara
sejumlah warga lainnya, tua maupun muda, melakukan tarian Tabo dengan diiringi
kenong dan tiga gendang. Beberapa seri tarian Tabo dimainkan, sampai kemudian
para anak yang akan dikhitan dibawa berjalan beriringan menuju sungai yang
lebih mirip kolam. Di tempat yang jauhnya sekitar satu kilometer dari Bal.
Di desa inilah,
keempat anak itu kemudian diminta berendam di sebuah kolam yang terlebih dulu
didoa-doai oleh dua orang Jenang.
Anak-anak itu ditemani para orang tua, sebagian warga, dengan iringan musik
kenong dan gendang. Dari pukul 04.00 sampai 06.20 keempat anak itu berjongkok
merendam setengah badan bagian bawahnya dalam air, membius kemaluan mereka agar
tidak terasa sakit ketika dikhitan nanti.
Setelah upacara sunat kapong selesai, kemudian anak-anak
tersebut diarak keliling kampung didampingi teman-temannya yang sebaya.
Arak-arak dilakukan dengan menggunakan tandu dan sepeda yang telah dihiasi
dengan berbagai macam hiasan dan diiringi dengan semarang, mulai dari ujung kampung
(tempat sunat dilaksanakan, di dekat aek
kapong) menuju lorong (gang) hingga ke jalan umum, kemudian diselingi
dengan penampilan pencak silat dan akhirnya kembali ketempat masing-masing.
Sebagai contoh,
dalam adat Betawi peserta (pengantin sunat) diarak duduk di atas kuda yang
dirias dengan sedemikian rupa, antara lain dengan bunga-bunga dan bermacam
buah-buahan. Di dekat ekor kuda digantungkan seikat padi dan sebuah kelapa.
Biasanya, si pengantin sunat akan
didampingi teman-temannya mengiringinya dengan naik delman. Berjalan di barisan
paling depan adalah grup ondel-ondel yang menari berkeliling kampung. Rebana
ketimpring terus mengiringi sepanjang perjalanan (Saputra, 2008:21). Tidak
demikian halnya di Desa Peradong, peserta sunat diarak sebagaimana arak-arakan tamat ngaji, sebagaimana telah diuraikan
di atas, yaitu dengan duduk
di atas sepeda yang telah dihiasi dengan berbagai bentuk dan variasi yang
didorong oleh orang tuanya dan orang dewasa lainnya dengan diikuti anak-anak
dan remaja lainnya yang sebaya. Rombongan depan adalah sebagai pembaca semarang yang dikomandoi oleh tetua
adat. Setelah
selesai, bagi keluarga (orang tua anak) yang mampu, biasanya mengadakan hajatan (selamatan) di rumah
masing-masing.
d. Semarang
Semarang yang lebih dikenal
dengan istilah Selawatan Barzanji
merupakan bacaan shalawat yang diambil dari kitab Al-Barzanji yang dibacakan
ketika mengiringi setiap arak-arakan
yang dilakukan, baik untuk arak-arakan tamat
ngaji maupun untuk sunat kapong.
Pembacaan tersebut dilakukan oleh rombongan arak-arakan di barisan paling
depan, yang dikomandoi oleh tetua adat. Untuk irama pembacaan tersebut, hanya
beberapa orang saja yang masih bisa untuk melafalkannya.
Selawatan tersebut dilakukan
tanpa ada paksaan, bagi remaja yang telah bisa membaca selawatan tersebut juga
diperbolehkan untuk membaca Semarang.
Selain untuk mengiringi arak-arakan, juga untuk memeriahkan dan meramaikan
sekaligus untuk menghibur peserta yang diarak. Khusus untuk arak-arakan tamat ngaji, bertujuan untuk memotivasi
bagi anak-anak dan remaja lainnya agar menamatkan 30 juz Al-Qur’an, sehingga
bisa menjadi peserta tamat ngaji di
tahun yang akan datang. Begitu juga dengan arak-arakan sunat kapong, juga untuk memberikan semangat dan keberanian kepada
mereka yang belum disunat.
e. Penampilan Pencak Silat
Upacara ini dilakukan untuk
menghibur para penonton yang menyaksikan jalannya kegiatan upacara Sedekah
Kampung dan juga untuk menghibur anak yang baru saja di sunat. Selain masyarakat Peradong, banyak para pengunjung yang
datang untuk menyaksikan jalannya acara tersebut. Pencak silat tersebut
diperankan oleh masyarakat dengan pakaian bebas, bahkan hansip–pun boleh
memperagakannya sebagai aktor.
Pencak silat ini tidak seperti
silat pada umumnya, karena dalam pencak silat ini hanya menirukan sebagian
gerakan-gerakan jurus silat saja. Dalam penampilannya, terlihat sedikit lucu
karena gerakan-gerakannya bukan gerakan-gerakan dalam jurus silat. Gerakan
tersebut dilakukan sesuai dengan gaya masing-masing pemeran dengan sedikit
meniru gerakan dalam jurus silat kampung. Yang menarik perhatian dari
penampilan pencak silat tersebut, adalah ketika pemeran (sebagai aktor)
berupaya memperebutkan dan mempertahankan uang yang telah didapat (dalam
kekuasaan), yang diletakkan oleh masyarakat dan pengunjung yang dikeluarkan
dengan suka rela.
Dengan gayanya yang sedikit konyol,
mereka–pemeran berupaya mempertahankan uang yang telah mereka dapatkan agar
tidak diambil oleh pemeran lainnya. Penampilan ini biasanya dilakukan oleh dua
orang.
Catatan:
1.
Nganggung adalah membawa makanan di
dalam dulang atau talam yang ditutup dengan tudung saji ke masjid, surau, atau
balai desa untuk dimakan bersama setelah pelaksanaan ritual agama (Zulkifli,
2007:53).
2.
Ceriak-beceriak atau becerita adalah bermusyawarah dengan melakukan pemanggilan
orang-orang kampung oleh dukun yang tujuannya untuk menentukan waktu
pelaksanaan Sedekah Kampung.
3.
Istana adalah
sebutan masyarakat terhadap makam
keturunan tetua adat yang dijadikan sebagai tempat ritual upacara permohonan
izin untuk melaksanakan Sedekah Kampung (makam leluhur yang merupakan kakek
buyut tetua adat yang menurut Kek Jemat, sekarang sudah keturunan kelima).
4.
Naber kampung adalah
pemercikkan air taber (batu pensucian) yang terbuat dari bahan-bahan
tradisional serta dedaunan ke rumah-rumah masyarakat dan gaharu (dupa) dari
kayu bolo (bambu) yang menurut tetua
adat dahulunya dimaksudkan sebagai alat untuk menarik orang-orang Cina yang
berdiam di desa tersebut agar memeluk agama Islam. Sedangkan Nangkel adalah pemberian tangkal
(jimat) dimulai dari gerbang masuk kampung hingga perbatasan kampung. Pemberian jimat
ini dimaksudkan untuk menangkal segala bentuk gangguan dari luar yang tidak
menginginkan acara ini berlangsung. (Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, t.t: 6).
5.
Betamat adalah membaca
surat-surat pendek dari al-Qur’an secara bergantian (Zulkifli, 2007:54). Biasanya
pembacaan surat-urat pendek tersebut dimulai dari surat Ad-Dhuha sampai An-Naas.
6.
Semarang (Selawatan Barzanji) merupakan bacaan shalawat yang diambil dari
kitab al-Barzanji yang dibacakan ketika
mengiringi setiap arak-arakan yang dilakukan, baik untuk arak-arakan tamat ngaji maupun untuk sunat kapong.
7.
Sunat Kapong adalah pemotongan ujung
penis anak laki-laki yang masih menggunakan alat-alat tradisional. Sunat atau khitan sendiri adalah upacara memotong ujung penis
anak lelaki dalam ukuran tertentu. (Saputra, 2008:17).
8.
Bagian yang disunat/dikhitan pada anak
laki-laki adalah tepi bulat yang menutupi hasyafah
(ujung kemaluan), sedangkan pada anak perempuan adalah kulit yang berbentuk
jengger ayam jantan di bagian atas farji.
9.
Kitab ’Iqd
Al-Jawahir (Kalung Permata) yang lebih dikenal dengan kitab Al-Barzanji adalah kitab yang ditulis
oleh Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdulkarim. Secara garis besar isi
di dalam kitab Al-Barzanji
melingkupi; 1) Silsilah Nabi Muhamad SAW, yakni Muhammad bin Abdul Muthalib bin
Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Fihr bin
Malik bin Nadar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudar bin
Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari inilah silsilah akan berlanjut dengan Nabi
Ismail AS dan Nabi Ibrahim AS. 2) Pada kanak-kanaknya banyak kelihatan hal luar
biasa pada dan atau dari diri Muhammad SAW, misalnya malaikat yang membelah
dadanya menyucikan hatinya, serta keluarga ibu susunya Halimah As-Sa’diah yang
dilimpahi berbagai keberkahan. 3) Pada masa remajanya, kepedulian Muhammad SAW
kepada masyarakat Makkah, seperti kegiatannya dalam kepanduan, menghindari
pertentangan antar qobilah di Makkah
dalam hal penempatan Hajar Aswat sehingga digelari al-Amin. Lalu umur 12 tahun,
beliau dibawa pamannya Abu Thalib berniaga ke Syam (Suriah-Yordania) dan dalam
perjalanan pulang Pendeta Nasrani bernama Buhaira melihat tanda-tanda kenabian
padanya. Buhaira berpesan agar Abu Thalib waspada dalam memelihara
keponankannya itu. 4) Usia 25 tahun menikah dengan Khodijah binti Khuwailid,
mempunyai putra-putri, beberapa saat setelah beliau wafat, hanyalah tinggal
Fatimah dan dari putrinya itulah beliau mempunyai cucu. Pada usia 40 tahun
beliau menerima wahyu dan sekaligus pengangkatannya sebagai nabi dan rasul yang
terakhir. Sejak itulah beliau menyiarkan agama Islam, 13 tahun di Makkah dan
hijrah ke Madinah melanjutkan dakwahnya, sampai beliau wafat usia 62 tahun.
Beliau mensyi’arkan agama Islam di Madinah selama 10 tahun. Dikutip dari H
Zulkarnain Karim, ”Al-Barzanji” dalam Majalah
Budaya Lawang, No. 02/th.I/Okt.–Nov, 2001, hal. 39.
Referensi:
Abdullah,
Irwan, dkk., (ed.). 2008. Agama dan
Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta: Sekolah Pasca Sarjana UGM
Abdullah,
Irwan. 2002. Simbol, Makna dan Pandangan
Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garabeg, Yogyakarta: Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Agus,
Bustanudin. 2002. Islam dan Pembangunan, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Aliyah,
Samir. 2004. Sistem Pemerintahan,
Peradilan & Adat dalam Islam, penerjemah: H. Asmuni, Jakarta: Khalifa
Beratha, I Nyoman. 1982. Desa,
Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Jakarta: Ghalia Indonesia
Dahri,
Harapandi. 2009. Tabot: Jejak Cinta
Keluarga Nabi di Bengkulu, Jakarta: Penerbit Citra
Dinas Perhubungan, Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bangka Barat. t.t. .Booklet Pariwisata Negeri Sejiran Setason
Hakim,
Atang Abdullah dan Jaih Mubarok. 2006. Metodologi
Studi Islam, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineka Cipta
Zulkifli. 2007. Kontinuitas Islam
Tradisional di Bangka, Sungailiat-Bangka: Shiddiq Press
Penulis adalah
Pemuda Desa Peradong (Anggota Karang Taruna Peradong)
HP. 0813 6862 7422
www.Penadwi.com
BalasHapus