Kamis, 26 Maret 2009

PENDIDIKAN ISLAM PASCA UN


PENDIDIKAN ISLAM PASCA UN

Oleh : Suryan Masrin


Nasib tragis yang dialami oleh sekumpulan guru yang tergabung dalam komunitas Air Mata Guru amat menyentak hati nurani kita, yang atas jasanya membongkar kebocoran ujian nasional, bukan mendapatkan ucapan terima kasih, justru sebaliknya mereka diminta mengundurkan diri. Sebuah kejujuran tidak dihargai dan tidak lagi ada artinya. (Kompas, Jum'at, 8 Juni 2007) 

Melihat dari data kelulusan siswa MA dan MTs, khususnya di Babel hanya sekian persen kecilnya angka kelulusan dari jumlah MA 765 siswa (IPA-IPS) dan MTs 1528 siswa. Karena fenomena inilah, pasca UN sudah saatnya untuk maju, belajar dari kegagalan dan sudah saatnya untuk Indonesia mengadopsi sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan yang tidak hanya mementingkan aspek kognisi, akan tetapi aspek apektif dan psikomotorik juga diseimbangkan.

Ujian Nasional yang dijadikan sebagai standarisasi minimal mutu pendidikan oleh Negara, dinilai kurang efektif karena kualitas pendidikan di era globalisasi tidak cukup jika hanya mengandalkan nilai minimal. UN adalah sebuah wujud bagi pembunuhan karakter anak yang secara perlahan, karena UN hanya memperhatikan pada ukuran kognisi (keilmuan) saja sedangkan bangsa membutuhkan generasi yang bermutu. Bangsa tidak akan bisa maju dan berkembang, jika nilai-nilai moral tidak tertanam dijiwa. Sebagian prilaku tindakan kekerasan yang dilakukan siswa yang kecewa karena tidak lulus UN, disebabkan salahnya pola pengasuhan pendidikan (Pelita, 19 Juni 2007). Sisi baik dari UN bagi sebagian siswa bisa diandalkan, tapi tidak bagi sebagian siswa yang lain, karena anak mempunyai karakter yang berbeda dan tingkat kecerdasan tersendiri. Mengambil hikmah dari fenomena ini adalah suatu hal yang sangat baik dan merupakan pemikiran yang cerdas. Keberhasilan sebuah pendidikan tidak hanya dilihat dari kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga dari aspek moral spiritualnya.

Kualitas pendidikan Islam

Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh sistem pendidikan Kolonial Belanda, yang telah melekat selama beratus-ratus tahun hingga sekarang. Berbicara tentang pendidikan Islam juga tidak terlepas dari seputar dunia pesantren, yang merupkan indigenous (pendidikan asli  Indonesia). Seperti dikemukakan oleh Karel A Steenbrink dalam Qomar, Pesantren: 63, bahwa "sistem pesantren yang sering disebut sebagai sistem pendidikan asli tndonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialis dan bertujuan menyiapkan tenaga untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Akan tetapi, mana mungkin hal demikian dapat terwujud jika hanya berfikiran yang serba pragmatis. 

Menurut Hujair AH Sanaky (2003), untuk mengembangkan pendidikan Islam harus mengembangkan beberapa konsep; Pertama, mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan yang secara utuh berorientasi pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan alam pada umumnya sebagai suatu integralistik bagi perwujudan kehidupan yang rahmatan lil'alamin. Kedua, mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorientasi dan mendorong manusia sebagai manusia, hak untuk menyuarakan pendapat walaupun berbeda" mengembangkan potensi berfikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ketiga, mengembangkan kansep pendidikan pragmatis, yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri, dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Artinya, sebagaimana merujuk pada tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk memberdayakan masyarakat dan bangsa yang beriman dan berakhlak mulia, maka intiusi pendidikan Islam dalam mengembangkan pendidikannya jangan mudah terkooptasi oleh pengaruh luar.

Dalam hal ini, Depag sebagai pemeran utama dalam pendidikan islam, jangan berdiam diri untuk menunjukkan eksistensinya karena masyarakat sekarang sudah maju dan pintar. Mari tinggalkan istilah “tong kosong nyaring bunyinya" dan mari melakukan perubahan. Depag dan segenap intuisi Islam harus berfikir kedepan (iangka panjang) dan melakukan beberapa hal; Pertama, harus mensinergikan kembali kerja sama dengan mengkonsolidasikan semangat kejuangan seperti rasulullah dan pejuang Islam lainnya. Kedua, apapun yang dihadapi jangan dianggap remeh dan jangan cepat mengambil keputusan. Ketiga, memfokuskan dan mempersiapkan diri dengan matang dan komitmen yang besar. (2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih...