Antara Cinta dan Nafsu
Oleh: Nayrus El Rayyan
Cinta adalah perasaan yang mesti ada dalam setiap diri manusia.
Cinta laksana setetes embun yang turun dari langit yang bersih dan suci. Jika
cinta jatuh pada tanah yang subur, disana akan tumbuh kesucian hati,
keikhlasan, budi pekerti yang tinggi dan perangai yang terpuji lainnya (Hamka).
Namun sebaliknya, jika cinta jatuh pada tanah yang gersang – fatamorgana,
disana tidak sedikitpun yang akan dapat tumbuh, bahkan yang terjadi
kesengsaraan dan bencana.
Cinta, memang mengasikkan. Bisa membuat hati yang sedang kalut dan
resah gelisah seketika menjadi riang gembira. Semua orang akan merasakan hal
ini, tak terkecuali seorang alim (ahli ibadah) sekalipun. Inilah fenomena
cinta, hanya diselingi sedikit goresan pembeda. Seorang alim riang gembira
menikmati cintanya dengan sang pencipta (Rabb-Nya) dan dijamin dengan imbalan
kebahagiaan dunia akhirat, sedangkan seorang biasa riang gembira menikmati
cinta dengan kekasihnya hanya sekejap didunia tanpa ada jaminan kebahagiaan
setelahnya.
Cinta seorang alim membawa kepada keberkahan dan keselamatan dunia
akhirat, sedangkan cintanya seorang biasa bisa membutakan. Namun demikian,
seorang alim-pun bisa terjerat dan terjerumus dalam godaan cinta palsu
(keduniaan semata), bahkan hingga kepintu perzinahan. Apalagi seorang biasa
yang memang telah berada dipintu perzinahan, tinggal dengan satu langkah saja
maka ia telah terjerumus dalam dunia kemurkaan.
Cinta bisa membuat semua orang riang gembira, juga bisa membuat
semua orang patah hati. Istilah patah hati sering dibincangkan hingga dalam
bait syair nyanyian. Dan mungkin, bahkan kita pernah mengalaminya. Ini
merupakan salah satu hal yang harus siap diderita jika cinta telah membutakan.
Cinta… seperti petikan kata-kata mutiara Imam Al-Ghazali : “ Cinta dunia yang berlebihan menyebabkan
orang beriman melalaikan ibadah kepada Allah dan melalaikan berkhidmat[*]
kepada manusia, karena cinta dunia yang berlebihan dapat meyebabkan kuatnya
hawa nafsu dan menyebabkan seseorang tidak menyiapkan bekalnya untuk akhirat.”
Cinta, apabila telah patah hati – sakit hati akan membuat semua
orang enggan dan trauma untuk mengulanginya kembali, bahkan semua orang akan
berusaha sekuat mungkin untuk menjauhinya. Akan tetapi, sejauh apapun kita
berusaha menjauhinya, dalam waktu yang dekat tau lama perlahan ia akan kembali
bersemi dan mennghinggapi setiap manusia yang haus akan cinta walaupun telah
berulangkali mengalami patah hati – sakit hati, karena ia adalah fitrah setiap
manusia. Namun, untuk kesekian kalinya tentunya akan lebih berhati-hati dalam
menjalaninya. Waktupun berjalan, hari-hari terus terlewati, dan ia-pun terus
terlarut dan terbuai dalam buaian romantisme cinta. Tak terasakan sedikit demi
sedikit ia terus semakin terbuai dalam remang-remang kilauan mutiara cinta yang
terus mencekam. Hingga pada akhirnya mahkota dewa yang selalu dijaga dan
dilindungi oleh prajurit-prajurit (penjaga istana) yang terlatih dirampas oleh
pencuri yang cerdik dan mahir (ulung). Berkat mahirnya taktik dan strategi
pencuri tersebut, akhirnya mahkota dewa dinikmati pencuri tanpa adanya cegatan
dan halangan dari para prajurit (penjaga) istana tersebut.
Cinta… begitulah pada akhirnya menjatuhkan dan menjerumuskan setiap
manusia yang tak bisa mengendalikan hawa nafsu dan tak mampu membendung amarah emosi
birahi. Begitulah roman sebuah percintaan yang menyeret setiap manusia yang
lupa (terbelenggu).
Cinta seorang alim yang itiqomah tidak demikian halnya. Semakin
hari, waktu demi waktu apabila diresapi dengan hikmat, maka ia akan semakin
dekat dan semakin menikamti indah dan damainya mengimani dan berserah diri pada
Sang Maha Kuasa. Hingga pda detik akhirnya, tatkala sang pencabut nyawa datang menjemput
untuk kembali dan bertemu dengan Tuhan-Nya, kebahagiaan akhirat-pun dinikamatinya
tak terkecualikan nikmat dunia sebelumnya telah dirasakan terlebih dahulu. bidadari-bidadari
surga mengelilinginya penuh dengan senyuman yang berhiaskan dengan kilauan intan
– permata. Demikianlah nikmatnya cinta Illahi…
Senang Hati - Sungailiat,
13 Agustus 2008
[*] Mengabdikan diri pada sesama manusia sebagai makhluk social artinya
mengutamakan kepentingan saudara seiman dan setaqwa daripada kepentingan
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih...