Kamis, 28 April 2011

Antara Cinta dan Nafsu


Antara Cinta dan Nafsu

Oleh: Nayrus El Rayyan




Cinta adalah perasaan yang mesti ada dalam setiap diri manusia. Cinta laksana setetes embun yang turun dari langit yang bersih dan suci. Jika cinta jatuh pada tanah yang subur, disana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, budi pekerti yang tinggi dan perangai yang terpuji lainnya (Hamka). Namun sebaliknya, jika cinta jatuh pada tanah yang gersang – fatamorgana, disana tidak sedikitpun yang akan dapat tumbuh, bahkan yang terjadi kesengsaraan dan bencana.

Cinta, memang mengasikkan. Bisa membuat hati yang sedang kalut dan resah gelisah seketika menjadi riang gembira. Semua orang akan merasakan hal ini, tak terkecuali seorang alim (ahli ibadah) sekalipun. Inilah fenomena cinta, hanya diselingi sedikit goresan pembeda. Seorang alim riang gembira menikmati cintanya dengan sang pencipta (Rabb-Nya) dan dijamin dengan imbalan kebahagiaan dunia akhirat, sedangkan seorang biasa riang gembira menikmati cinta dengan kekasihnya hanya sekejap didunia tanpa ada jaminan kebahagiaan setelahnya.

Cinta seorang alim membawa kepada keberkahan dan keselamatan dunia akhirat, sedangkan cintanya seorang biasa bisa membutakan. Namun demikian, seorang alim-pun bisa terjerat dan terjerumus dalam godaan cinta palsu (keduniaan semata), bahkan hingga kepintu perzinahan. Apalagi seorang biasa yang memang telah berada dipintu perzinahan, tinggal dengan satu langkah saja maka ia telah terjerumus dalam dunia kemurkaan.

Cinta bisa membuat semua orang riang gembira, juga bisa membuat semua orang patah hati. Istilah patah hati sering dibincangkan hingga dalam bait syair nyanyian. Dan mungkin, bahkan kita pernah mengalaminya. Ini merupakan salah satu hal yang harus siap diderita jika cinta telah membutakan.

Cinta… seperti petikan kata-kata mutiara Imam Al-Ghazali : “ Cinta dunia yang berlebihan menyebabkan orang beriman melalaikan ibadah kepada Allah dan melalaikan berkhidmat[*] kepada manusia, karena cinta dunia yang berlebihan dapat meyebabkan kuatnya hawa nafsu dan menyebabkan seseorang tidak menyiapkan bekalnya untuk akhirat.”

Cinta, apabila telah patah hati – sakit hati akan membuat semua orang enggan dan trauma untuk mengulanginya kembali, bahkan semua orang akan berusaha sekuat mungkin untuk menjauhinya. Akan tetapi, sejauh apapun kita berusaha menjauhinya, dalam waktu yang dekat tau lama perlahan ia akan kembali bersemi dan mennghinggapi setiap manusia yang haus akan cinta walaupun telah berulangkali mengalami patah hati – sakit hati, karena ia adalah fitrah setiap manusia. Namun, untuk kesekian kalinya tentunya akan lebih berhati-hati dalam menjalaninya. Waktupun berjalan, hari-hari terus terlewati, dan ia-pun terus terlarut dan terbuai dalam buaian romantisme cinta. Tak terasakan sedikit demi sedikit ia terus semakin terbuai dalam remang-remang kilauan mutiara cinta yang terus mencekam. Hingga pada akhirnya mahkota dewa yang selalu dijaga dan dilindungi oleh prajurit-prajurit (penjaga istana) yang terlatih dirampas oleh pencuri yang cerdik dan mahir (ulung). Berkat mahirnya taktik dan strategi pencuri tersebut, akhirnya mahkota dewa dinikmati pencuri tanpa adanya cegatan dan halangan dari para prajurit (penjaga) istana tersebut.

Cinta… begitulah pada akhirnya menjatuhkan dan menjerumuskan setiap manusia yang tak bisa mengendalikan hawa nafsu dan tak mampu membendung amarah emosi birahi. Begitulah roman sebuah percintaan yang menyeret setiap manusia yang lupa (terbelenggu).

Cinta seorang alim yang itiqomah tidak demikian halnya. Semakin hari, waktu demi waktu apabila diresapi dengan hikmat, maka ia akan semakin dekat dan semakin menikamti indah dan damainya mengimani dan berserah diri pada Sang Maha Kuasa. Hingga pda detik akhirnya, tatkala sang pencabut nyawa datang menjemput untuk kembali dan bertemu dengan Tuhan-Nya, kebahagiaan akhirat-pun dinikamatinya tak terkecualikan nikmat dunia sebelumnya telah dirasakan terlebih dahulu. bidadari-bidadari surga mengelilinginya penuh dengan senyuman yang berhiaskan dengan kilauan intan – permata. Demikianlah nikmatnya cinta Illahi…


Senang Hati - Sungailiat,
13 Agustus 2008


[*] Mengabdikan diri pada sesama manusia sebagai makhluk social artinya mengutamakan kepentingan saudara seiman dan setaqwa daripada kepentingan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih...