PENDIDIKAN ISLAM PASCA UN
Oleh :
Suryan Masrin
Nasib
tragis yang dialami oleh sekumpulan guru yang tergabung dalam komunitas Air
Mata Guru amat menyentak hati nurani kita, yang atas jasanya membongkar kebocoran
ujian nasional, bukan mendapatkan ucapan terima kasih, justru sebaliknya mereka
diminta mengundurkan diri. Sebuah kejujuran tidak dihargai dan tidak lagi ada artinya.
(Kompas, Jum'at, 8 Juni 2007)
Melihat
dari data kelulusan siswa MA dan MTs, khususnya di Babel hanya sekian persen
kecilnya angka kelulusan dari jumlah MA 765 siswa (IPA-IPS) dan MTs 1528 siswa.
Karena fenomena inilah, pasca UN sudah saatnya untuk maju, belajar dari kegagalan
dan sudah saatnya untuk Indonesia mengadopsi sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan
yang tidak hanya mementingkan aspek kognisi, akan tetapi aspek apektif dan psikomotorik
juga diseimbangkan.
Ujian
Nasional yang dijadikan sebagai standarisasi minimal mutu pendidikan oleh
Negara, dinilai kurang efektif karena kualitas pendidikan di era globalisasi
tidak cukup jika hanya mengandalkan nilai minimal. UN adalah sebuah wujud bagi
pembunuhan karakter anak yang secara perlahan, karena UN hanya memperhatikan
pada ukuran kognisi (keilmuan) saja sedangkan bangsa membutuhkan generasi yang
bermutu. Bangsa tidak akan bisa maju dan berkembang, jika nilai-nilai moral
tidak tertanam dijiwa. Sebagian prilaku tindakan kekerasan yang dilakukan siswa
yang kecewa karena tidak lulus UN, disebabkan salahnya pola pengasuhan
pendidikan (Pelita, 19 Juni 2007). Sisi baik dari UN bagi sebagian siswa bisa
diandalkan, tapi tidak bagi sebagian siswa yang lain, karena anak mempunyai
karakter yang berbeda dan tingkat kecerdasan tersendiri. Mengambil hikmah dari
fenomena ini adalah suatu hal yang sangat baik dan merupakan pemikiran yang
cerdas. Keberhasilan sebuah pendidikan tidak hanya dilihat dari kemampuan
intelektualnya saja, tetapi juga dari aspek moral spiritualnya.
Kualitas
pendidikan Islam
Pendidikan
Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh sistem pendidikan Kolonial
Belanda, yang telah melekat selama beratus-ratus tahun hingga sekarang.
Berbicara tentang pendidikan Islam juga tidak terlepas dari seputar dunia pesantren,
yang merupkan indigenous (pendidikan
asli Indonesia). Seperti dikemukakan oleh
Karel A Steenbrink dalam Qomar, Pesantren:
63, bahwa "sistem pesantren yang sering disebut sebagai sistem pendidikan
asli tndonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialis dan bertujuan
menyiapkan tenaga untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Akan tetapi,
mana mungkin hal demikian dapat terwujud jika hanya berfikiran yang serba
pragmatis.
Menurut
Hujair AH Sanaky (2003), untuk mengembangkan pendidikan Islam harus
mengembangkan beberapa konsep; Pertama, mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu
pendidikan yang secara utuh berorientasi pada nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan
alam pada umumnya sebagai suatu integralistik bagi perwujudan kehidupan yang
rahmatan lil'alamin. Kedua, mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu
pendidikan yang berorientasi dan mendorong manusia sebagai manusia, hak untuk
menyuarakan pendapat walaupun berbeda" mengembangkan potensi berfikir,
berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ketiga,
mengembangkan kansep pendidikan pragmatis,
yaitu memandang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan,
mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik jasmani maupun rohani dan
mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka
terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya
yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri,
percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri,
dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.
Artinya, sebagaimana merujuk pada tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk
memberdayakan masyarakat dan bangsa yang beriman dan berakhlak mulia, maka
intiusi pendidikan Islam dalam mengembangkan pendidikannya jangan mudah
terkooptasi oleh pengaruh luar.
Dalam
hal ini, Depag sebagai pemeran utama dalam pendidikan islam, jangan berdiam
diri untuk menunjukkan eksistensinya karena masyarakat sekarang sudah maju dan
pintar. Mari tinggalkan istilah “tong kosong nyaring bunyinya" dan mari
melakukan perubahan. Depag dan segenap intuisi Islam harus berfikir kedepan
(iangka panjang) dan melakukan beberapa hal; Pertama, harus mensinergikan kembali kerja sama dengan mengkonsolidasikan
semangat kejuangan seperti rasulullah dan pejuang Islam lainnya. Kedua, apapun yang dihadapi jangan
dianggap remeh dan jangan cepat mengambil keputusan. Ketiga, memfokuskan dan mempersiapkan diri dengan matang dan
komitmen yang besar. (2007)