Rabu, 01 September 2010

Orientasi Paradigma Pendidikan Islam Era Modernisasi


ORIENTASI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM ERA MODERNISASI
Oleh: Suryan


Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh system pendidikan Kolonial Belanda, yang telah melekat beratus-ratus tahun lamanya hingga sekarang. Membicarakan tentang pendidikan Islam juga tidak terlepas dari seputar dunia pesantren, yang merupakan ­indigenous (pendidikan asli Indonesia). Meminjam pendapat Steenbrink dalam Qomar (Pesantren: 63), bahwa “system pesantren yang sering disebut system pendidikan asli Indonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialis dan bertujuan menyiapkan tenaga untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat.” Akan tetapi, mana mungkin hal demikian dapat terwujud jika kita hanya berfikiran yang serba pragmatis. Pada awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan pendidikan sekolah sebagai mainstraim system pendidikan nasional  (Rohim, 2001: 9). Secara pragmatis, hal ini dilakukan untuk memudahkan pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut. Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba (‘abd) dihadapan Kholik-Nya dan sebagai ‘pemelihara’ (khalifah) pada semesta.

Menurut GBHN 1999-2004, arah baru kebijakan pembangunan pendidikan adalah:
  1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia berkualitas tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
  2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga pendidikan.
  3. Melakukan pembaharuan sistem kurikulum, berupa deverifikasi kurikulum untuk melayani keberagamaan peserta didik. Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta deverifikasi jenis pendidikan secara profesional (Depag RI, 2003: 61).

Orientasi Paradigma Pendidikan Islam

Paradigma secara sederhana diartikan sebagai cara pandang dan cara berfikir. Paradigma sebagai dasar sistem pendidikan adalah cara berfikir atau sketsa pandang menyeluruh yang mendasari rancang bangunan suatu sistem pendidikan. Paradigma pendidikan Islam cenderung pada; sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, karena pendidikan didesain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan, serta teknologi perakitan. Untuk itulah, pendidikan Islam harus mengembangkan orientasinya dalam beberapa ha sebagai berikut:
  1. Pengembangan hidup yang berorientasi kepada keimanan dan ketakwaan terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa;
  2. Pengembangan hidup yang berorientasi kepada kehidupan masyarakat/sesama manusia; dan
  3. Pengembangan yang berorientasi kepada lingkungan alam sekitar.

Hujair Ah Sanaky (2003) menjelaskan, untuk pengembangan pendidikan Islam harus mengembangkan empat konsep sebagai berikut; Pertama, Mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan yang secara utuh berorientasi pada nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, dan alam pada umumnya sebagai suatu integralistik bagi perwujudan kehidupan yang rahmatan lil’alamin. Kedua, Mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorientasi dan mendorong manusia sebagai manusia, hak untuk menyuarakan pendapat walaupun berbeda, mengembangkan potensi berfikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaa. Ketiga, Menngembangkan konsep pendidikan pragmatis, yaitu memamdang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya, baik jasmani maupun rohani, serta mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, Mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Artinya, sebagaimana merujuk pada tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk memberdayakan dan mencerdaskan masyarakat bangsa yang beriman dan berakhlak mulia, maka intuisi pendidikan Islam dalam mengembangkan pendidikannya jangan mudah terkooptasi oleh pengaruh pendidikan dari luar, dengan tidak mengenyahkan sisi positifnya. (2007)

Relasi Pendidikan Dengan Modernisasi


RELASI PENDIDIKAN DENGAN MODERNISASI
Oleh: Suryan



Masalah pendidikan bukanlah hal yang baru, sudah berulang kali topik mengenai pednidikan diketengahkan keberbagai media masa. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga pendidikan sekolah sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional (Rohim, 200: 9). Secara pragmatis, hal itu dilakukan untuk memudahkan pengelolaan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis, sehingga kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan.
Secara real, arah kebijakan pembangunan pendidikan menurut GBHN 1994-2004 adalah sebagai berikut:
1.      Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
2.      Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta menigkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga tenaga kependidikan; dan
3.      Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa deversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik. Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, secara deversifikasi jenis pendidikan secara frofesional (Depag RI, 2003: 61).
Isi dari kebijakan tersebut ada delapan point, namun ketiga point di atas dapat mewakili delapan point kebijakan tersebut. Dari penjelasn tiga poin kebijakan itu, dapat disimpulkan bahwa arah kebijakan pembangunan pendidikan menurut GBHN tersebut adalah untuk mengupayakan pendidikan nasional yang bermutu demi kemaslahatan bangsa. Selain itu, arah kebijakan tersebut bertujuan untuk memudahkan dan mensetarakan pendidikan.
Jika melihat Undang-Undang Sisdiknas tentang Paradigma Baru Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003, dapat dipetik point-point yang diarahkan sebagai sasaran pendidikan, yaitu; Pertama, tentang demokrasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tercantum dalam bab tiga tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan junjungan tinggi hak azazi manusia… dts (ayat 1) (Depag RI, 2003: 2). Adanya desentralisasi menjadikan pendanaan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1).
Kedua, peran serta masyarakat, demokratisasi penyelenggaraan pendidikan harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, oraganisasi profesi, dan oraganisasi kemasyrakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1) (Depag RI, 2003: 4).
Ketiga, tantangan global yang melanda dunia yang mengharuskan pendidikan bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan formal, baik pendidikan yang didirikan pemerintah maupun masyarakat.
Keempat, kesetaraan dan keseimbangan antara pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat.
Kelima, jalur formal, nonformal, dan informal, dengan meniadakan istilah jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
Keenam, peserta didik, dengan menempatkan mereka sebagai subyek pendidikan. Hal ini menunjukkan keberpihakan Undang-Undang Sisdiknas kepada peserta didik terutama kepada peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.

Pendidikan dan Modernisasi
Pendidikan sebagaimana kita ketahui adalah usaha sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik kepada peserta didik dengan memberikan pengetahuan kearah kedewasaan. Sedangkan modernisasi adalah akar dari modernis, pemikiran tentang pembaharuan. Jadi modenisasi merupakan prasyarat bagi kebangkitan pemikiran dan pembaharuan bagi pembangunan.
Modernisasi yang lebih dikenal dengan istilah ‘pembagunan’ (development) adalah proses multidimensional yang kompleks (Azra, 2000: 31). Relasi modernisasi dengan pendidikan merupakan satu kesatuan prasyarat bagi pembagunan tersebut. Pada satu sisi, pendidikan dipandang sebagai suatu variable modenisasi. Dalam konteks ini, pendidikan dianggap sebagai prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan tercapainya tujuan modernisasi atau pembangunan. Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat untuk mencapai kemajuan (Azra, 2000: 31). Banyak ahli pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu kearah modernisasi.
Pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi, dengan kata lain tergantung dari pengamatan dan sudut pandang yang melihatnya. Dalam tataran masyarakat modern, pendidikan harus bergerak kearah pembagunan. Sebagaimana dikemukakan Azra (2000: 32):
Pendidikan dalam masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak kearah modern (moderinizing) pada dasarnya berfungsi untuk meberikan kaitan antara anak didik dan lingkungan sosio-kulturalnya yang terus berubah. Dalam banyak hal pendidikan secara sadar digunakan sebagai intrumen untuk perubahan dalam sistem politik dan ekonomi.

Dapat disimpulkan bahwa relasi pendidikan dengan modernisasi merupakan dua factor yang saling menghubungkan antara keduanya, karena pendidikan sebagai prasyarat untuk menuju kearah modernisasi. Tanpa pendidikan yang matang dan terakreditasi, maka modernisasi tidak akan terlaksana dengan sempurna. Sebagai gambaran dapat dilihat sekarang adanya modernisasi pendidikan, artinya meodernkan pendidikan yang disesuaikan dengan tataran zaman.
Modernisasi tersebut dapat berupa pengembangan metode, media (sarana dan prasarana), strategi, teknik, dan sistem pendidikan tersebut. Contohnya dapat dibuktikan pada penyempurnaan KBK menjadi KTSP sekarang, dan lain sebagainya. (2007)



Bahan Bacaan:
Rohim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Depag RI. 2003. Sistem Perencanaan Ditjen Kelembagaan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Kelembagaan Agama Islam
Depag RI. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas, Jakarta: Direktorat Kelembagaan Agama Islam
Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam: Tradisi dan Moderniasasi Menuju Mileniun Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu