Kamis, 24 November 2011

Wanita, Ingin di Cintai dan di Sayangi: Bag. Ke-6 RINDU KEBAHAGIAAN


BAGIAN KEENAM
RINDU KEBAHAGIAAN
Oleh: Nayrus El Rayyan

Salah satu kiat agar wanita Muslimah sukses hidup di dunia
dan meraih kemenangan di akhitrat, adalah menata dirinya dengan baik
*Akram Ridha*


Hakikat Bahagia
Bahagia itu dari dalam diri, kesannya zhahir rupanya maknawi. Terpendam bagaikan permata di dasar hati. Bahagia itu ada di dalam hati, bagaikan mutiara di lautan nurani. Bahagia itu ada di jiwa, mahkota di singgasana rasa. Bahagia itu adalah suatu ketenangan dan kesabaran. Bisa susah tiada gelisah, bila miskin syukur pada Tuhan, dan bila sakit tiada resah di jiwa. Bukankah Allah telah berfirman, ”Ketahuilah, hanya dengan mengingati Allah jiwa akan menjadi tenang.”
Kebahagiaan itu suatu kesyukuran, bila kaya jadi insan pemurah, bila berkuasa amanah, bila berjaya tidak alpa, dan bila sehat tidak melupakan Tuhan. Hakikatnya bahagia itu adalah ketenangan, bila hati mengingati Tuhan. (UNIC: Hakikat Bahjagia).
Seseorang yang mengerti akan hakikat kebahagiaan adalah mereka yang merasa bahagia tatkala melihat seseorang yang dikasihinya merasa bahagia dan merasa aman. Artinya, kebahagiaan itu tidak bisa diilihat dan diukur dengan bentuk dan rupa, ia hanya bisa dirasakan. Yang bia merasakan sesuatu itu jadi suatu kebahagiaan hanyalah dia yang sedang berbahagia.
Orang sakit menyangka, bahagia itu terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, kebahagiaan itu terletak pada harta dan kekayaan. Rakyat jelata menyangka, kebahagiaan itu terletak pada kekuasaan, dan Islam menyatakan bahwa kebahagiaan itu merujuk pada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak, yaitu; ”kebahagiaan” adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berprilaku sesuai dengan keyakinan itu.
Bahagia itu maknawi, juga bersifat ruhaniyah. Rasa senang bukan bahagia sekalipun dia berharta, karena semua itu bersifat lahiriyah. Bahagia hanya hati yang dapat merasakannya. Tak satupun manusia yang berpaling darinya. Sungguh sangat bahagia bagi mereka yang mengetahui akan hakikat kehidupan, tidak berbuat melainkan hanya kebaikan, mengisi waktu tidak hanya untuk pwermainan, mencari kebahagiaan hanya dalam ketaatan. Mengharap ridha dan keberkahan hanya kepada Allah swt.
Memaknai Kebahagiaan
Kita dapat melihat betapa Allah swt Maha Pengasih dan Penyayang kepada setiap mansuia. Berbahagialah atas penciptaan yang sempurna terhadap diri kita, dikaruniai wajah, rambut, mata, hidung, bibir, telinga, tangan, kaki, dan segala yang ada pada tubuh kita, terutama ’hati’. Berbahagialah atas rizki yang dilimpahkan, ketenangan saat bersama keluarga, saat dipangkuan ayah bunda (orangtua), dan berbahagialah saat dalam kehangatan sahabat dan perjuangan, serta berbahagialah saat ajal menjemput kita dalam keadaaan husnul khatimah.
Bahagia sesungguhnya adalah kesyukuran yang utuh dari seorang hamba kepada Rabbnya. Apapun kondisi hidup hendaknya menjadi pelajaran yang tak ternilai. Hanya dengan tunduk, pasrah, dan mengakui kelemahan diri kepada Rabb Yang Maha Memiliki bahagia, karena bahagia hanya milik mereka yang bersyukur, sabar, gigh, dan teguh dalam agamanya (Kurniah, 2006: 83-86).
Allah swt berfirman,
”Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.(QS. Huud: 108)
Unsur Kebahagiaan
Unsur utama kebahagiaan adalah cinta dan ketaatan kepada Allah swt, sebab hanya Allah yang dapat memberkahi dan memberi kasih sayang, serta menentramkan hati. Semakin teguh komitmen kita terhadap ajarn Allah, semakin dalam pula kebahagiaan yang dirasakan, baik di dunia ataupun di akhirat nantinya. Sebagaimana firman-Nya,
” ... Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 123-124)
Wanita Ingin Kebahagiaan
Kelembutan dan kehalusan dalah perhiasan wanita yang mampu membuatnya menundukkan laki-laki yang paling kasar. Seangkan kemarahan, kekerasan, dan kebengisannya dapat mengubah laki-laki paling lembut menjadi syetan yang paling jahat (Shalih, 2008: 216). Baiknya wanita, maka baik pula orang ada di sekelilingnya. Seperti disebutkan dalam sebuah ungakapan, ”Bila wanita di suatu bangsa baik, maka baiklah seluruh bangsa itu,. Sebaliknya, bila hancur ia, maka hancur pulalah banga itu.”
Siapapun (wanita) yang berpijak pada ajaran agama Islam yang agung, maka akan membantunya mengatasai berbagai perselisihan, mengenadalikan nafsunya dari perbuatan buruk, dan membuatnya menerapkan ajaran-ajaran Allah, karena ingin mendapatkan keridhaan-Nya dan takut terhadap murka-Nya.
Wanita selalu ingin diperhatikan dan disayangi, seperti layaknya Dewi Kahyangan (dalam dunia fantasi). Mampu memberikan kebahagiaan dan kepuasan zhahir dan bathin. Ia bagaikan sutra yang halus tiada tandingan. Mereka hidup karena ingin diberikan kebahagiaan, jadi tiada alasan untuk menyakitinya.
Begitulah wanita, mereka menginginkan kebahagiaan, ketenangan, dan perlindungan dari siapapun. Baik sebagi ibu, istri, ataupun sebagai anak. Tak perlu alasan, bahwa tak ada satupun wanita yang lahir ke dunia ini yang tak meninginkan kebahagiaan, terutama kebahagiaan di akhirat nantinya. Oleh karena itu, mereka berhak diberi kebahagiaa oleh siapapun.
Wahai wanita yang paling bahagia dengan agama dan akhlaknya, tanpa mutiara, kalung, ataupun emas, tetapi dengan tasbih yang bagaikan pembawakabar gembira. Bagaikan tetes hujan, fajar, bagaikan pancaran cahaya, dan bagaikan awan. Dalam sujud, do’a, dan dalam kedekatan dengan Tuhannya. Dalam renungan di antara cahaya lauhil mahfudz dan kitab-kitab-Nya. Dalam kilatan cahaya dari Gua Hira. Dari rasul Tuhanmu bagi bangsa Romawi dan Arab. Maka, engkau adalah yang paling bahagia diantara penghuni dunia dan akhirat. Dalam hatimu yang bersih dan tulus, yang engkau suburkan dengan kedekatanmu kepada Allah swt (Al-Qarni, 2004: 25-26).
Do’a untuk Kebahagiaan
Inilah do’a untuk semua wanita yang menginginkan kebahagiaan,
TUHAN-KU,
Aku berdoa untuk seorang pria, yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang Pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu

Wajah ganteng dan daya tarik fisik tidaklah penting
Yang paling penting adalah
sebuah hati yang sungguh mencintai dan haus akan Engkau

Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup,
Sehingga hidupnya tidaklah sia-sia
Seseorang yang memiliki hati yang bijak
Bukan hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tetapi juga menghormati aku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tapi
dapat juga menasehati ketika aku berbuat salah
Seorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tetapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku
dalam tiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita
ketika berada disebelahnya

Aku tidak meminta seorang yang sempurna,
Namun aku meminta seorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna dimataMu.
seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya.
Seorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna

Dan aku juga meminta :
Buatlah aku menjadi seorang perempuan yang sungguh mencintaiMu,
Sehingga aku dapat mencintainya dengan cintaMu,
bukan mencintainya sekedar cintaku

Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap
kami berdua dapat mengatakan "betapa besarnya Tuhan itu
karena Engkau telah memberikan kepadaku seorang
yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna"

Aku mengetahui bahwa Engkau menginginkan kami bertemu
pada waktu yang tepat dan Engkau akan membuat segala
sesuatunya indah pada waktu yang Kau tentukan
segalanya akan indah, bila tepat pada waktunya
Kebahagiaan Dunia Akhirat
Siapa yag tidak menginginkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat? Tentu tak satupun yang menolaknya. Sudah menjadi tujuan setiap hidup manusia (laki-laki dan perempuan) untuk menjadi hidup bahagia di dunia dan di akhirat.
Hidup bahagia di dunia dapat diperoleh hanya dengan menjalankan hukum dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Siapapun mereka, bila telah menjalankan hukum dan aturan Allah swt pastiia akan bahagia. Bahagia tidak diperoleh dari kekayaan, kemewahan, kesehatan, kekuatan, kekuasaan, ataupun yang lainnya. Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Hidup sederhana pasti akan merasa cukup bila dengan iman dan taqwa, begitu juga dengan miskin, akan tenang dan damai dengan syukur kepada-Nya.
Dengan iman dan taqwa, maka engkau akan merasa teang, damai, sejahtera, dan bahagia. Hanya dengan mengingat Allahlah hati akan tenang dan tenteram (QS. Ar-Ra’d: 28). Kuncinya hanya dengan cara taat dan patuh pada Allah swt. Karena kebahagiaan hanyalah milik-Nya. Jika Allah ingin memberikan kebahagiaan itu kepada kita, maka pasti kita akan bahagia. ”Kun fayakun” kata Allah, jadilah, maka jadilah jika Ia berkehendak. Itulah kekuasaan Allah swt.
Semua itu kembali pada iman dan taqwa. Bila kita beriman dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya kepada-Nya, maka insya Allah kebahagiaan di akhiratpun dengan sendirinya akan diperoleh olehnya, tanpa diduga dan tanpa disadari.
Inilah kebahagiaan di dunia dan di akhirat, hanya dengan iman dan taqwa kepada Allah swt. Siap yang ingin selamat (bahagia) di dunia dan di akhirat, segerlah taubat dan kembali kepada Allah swt. Wallahu a’lam...

Kamis, 22 September 2011

PENGHARAPAN YANG TERAKHIR

PENGHARAPAN YANG TERAKHIR

Percikan wangi-wangi surga kian jauh
Penghambaanku masih belum kutambah
Siang dan malam telah engkau atur untukku berserah
Seisi alam telah menghamparkan diri untuk tempatku menyembah

Aku lengah dan terbuai
Bujukan nafsu semakin menguntai
Sadarku semakin terbengkalai
Bisikan syetan terus mengintai

Sadarku belum terbangun
Tetesan embun telah di ujung daun
Saatku hendak terbangun…
Titipan usia mulai menjadi pikun

Kuasakan diriku untuk berfikir
Menyemangati dengan berzikir
Kuserahkan semua hidupku untuk yang terakhir
Mengharap bahagia di Yaumul Akhir…

Oleh: Nayrus El Rayyan
Rivan’s Merawang, Minggu 07 Februari 2010
20:22 WIB

Kamis, 15 September 2011

Wanita, Ingin di Cintai dan di Sayangi: Bag. Ke-4 MALU SEBAGAI TABIAT DASAR


BAGIAN KEEMPAT
MALU SEBAGAI TABIAT DASAR
Oleh: Nayrus El Rayyan

Orang yang tidak punya maludan tidak amarah,
bagiku seakan terlihat telanjang di tengah orang banyak
*Abu Bakar Ash-Shiddiq*


Pengertian Malu
Malu adalah salah satu sifat yang merupakan fitrah bagi setiap manusia. Tak ada satupun manusia di dunia ini yang luput dari rasa malu. Malu terhadap diri sendiri, malu terhadap sesame, malu terhadap makhluk ciptaan Allah lainnya, dan yang utama adalah malu kepada Allah swt.
Malu adalah perasaan yang membuat seseorang menjadi enggan, tidak percaya diri, ragu, dan lain sebagainya. Malu, sebagaimanan dijelaskan oleh Ash-Shagharji (2004: 23), yakni; Pertama, keengganan hati untuk melakukan suatu hal karena kekhawatiran akan mendapatkan celaan,. Kedua, suatu perubahan yang muncul dalam hati ketika ada perasaan takut dihina dan dicela. Ketiga, sebuah perangai yang mendorong pemiliknya meninggalkan keburukan dan melakukan kebaikan.
Dari ketiga penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa malu merupakan sesuatu yang menunujukkan seseorang yang memiliki kehormatan, harga diri, dan kepribadian. Dari ini dapat digambarkan bahwa barangsiapa yang takut dicap jelek, jahat, ataupun berperangai buruk oleh khalayak berarti dia orang yang memiliki rasa malu. Orang yang memiliki rasa malu otomatis akan meninggalkan hal-hal yang menyebabkan ia tercela oleh dirinya sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu juga akan mengkhawatirkan kehormatan dirinya, sebaliknya orang yang tidak mempunyai rasa malu lebih menjaga keselamatan diri dan tubuhnya ketimbang memperdulikan kehormatannya.
Malu adalah akhlak yang menghiasi dan menyinari prilaku lainnya. Malu merupakan fitrah dan tabiat dasar bagi setiap wanita. Sungguh tak masuk akal jika mendapati wanita yang tidak memiliki rasa malu. Kalaupun ada, wanita itu bias menjadi sumber kejahatan dan kesesatan.
Macam-macam Malu
1.      Malu krena fitrah, seperti anak kecil yang telanjang malu ketika dilihat orang. Atau seperti wajah orang berakhlak yang memerah ketika mendengar kata-kata kotor atau mungkar.
2.      Malu karena iman, seperti apa yang diucapkan Al-junaidi, ”Seorang Mukmin tidak melakukan maksiat karena malu dilihat Allah.”
3.      Malu karena jiwa, disebut juga perasaan. Abu Bakar mengibaratkan dalam syair berikut;
Orang yang tidak punya malu dan tidak amarah,
bagiku seakan terlihat telanjang di tengah orang banyak
‘Ali berkata, “Orang yang menjadikan malu sebagai pakaian
berarti membuat orang lain tidak bisa melihat aibnya.”
Demikianlah tiga macam pembagian malu yang digambarkan oleh Ridha, (2006: 98). Ketiga macam pembagian tersebut adalaha pembagian malu secara umum. Sedangkan menurut Ash-Shagharji (2004), ia menguraikan malu (haya’) menjadi sebelas macam, yakni berdasarkan yang katakana oleh Imam al-Qusyairi;
1.      Haya’ jinayah, yaitu malu yang disebabkan mempunyai kesalahan;
2.      Haya’ taqshir, yaitu rasa malu yang diakibatkan keteledoran;
3.      Haya’ ijlal, yaitu rasa malu yang muncul karena pengagungan dan ini dimulai dari ma’rifat (mengenal) Allah, semakin hamba mengenal kepada Allah, maka semakin bertambah pula rasa malu kepada Tuhan-Nya;
4.      haya’ karam, yaitu rasa malu yang menggambarkan akan kemuliaan pemiliknya;
5.      Haya’ hasymah, yaitu rasa malu Ali ra ketika harus bertanya tentang madzi (lender yang keluar dari kemaluan ketika sedang syahwat). Kemudian beliau menyuruh Miqdal ibnul Aswad agar bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw memberi jawaban ‘bahwa orang yang mengeluarkan madzi harus berwudhu dan membasuh kemaluannya.’ (HR. Bukhari Muslim);
6.      Haya’ istiqar, yaitu rasa malu yang dimiliki oleh seorang yang merasarendah diri;
7.      Haya’ mahabbah, yaitu malunya seorang pecinta kepada orang yang dicintainya;
8.      Haya’ ubudiyyah, yaitu rasa malu yang merupakan kumpulan dari segala rasa cinta dan takut yang diiringi dengan perasaan akan suatu keteledoran seorang penyembah kepada Sang Pencipta itu akan memunculkan perasaan malu dalam hati si penyembah;
9.      Haya’ syaraf dan harga diri, yaitu rasa malu yang ditunjukkan oleh pribadi-pribadi yang berbudi agung ketika melihat dirinya tidak bisa melakukan hal yang sesuai dengan pangkat dan derajat yang dia miliki;
10.  Rasa malu seorang Mukmin sejati dengan melihat dirinya senantiasa teledor akan hak dan kewajiban dia terhadap tuhan-Nya; dan
11.  Ihaya’ in’am, yaitu rasa malu Allah kepada hamba-hamba-Nya dan tentunya kita harus menjaga hati kita dengan tetap beriktikad bahwa Allah tidak serupa dengan segala yang baru, meski Allah punya rasa malu tetapi rasa malu itu tidak sama dengan rasa malu yang dimiliki hamba-Nya (Ash-Shagharji, 2006: 38-42).
Malu sebagain dari Iman
Malu adalah sebagian dari iman, oleh karenya malu yang dipicu oleh keimanan muncul ketika seorang hamba tidak mau berbuat maksiat karena takut kepada Allah swt. Malu merupakan pilar sekaligus syi’ar dalam pembangunan akhlak ini. Jadi, kalau dikaitkan berarti tanpa malu tidak ada iman dan tidak ada akhlak baik. Seperti sabda Nabi saw, “Malu dan iman merupakan satu kesatuan utuh; jika alah satuny hilang, hilang juga yang lainnya.” (HR. Hakim).
Rasa malu adakalnya karena Allah, dan adakalanya juga karena manusia. Rasa malu karena Allah akan berbuah kebaikan (pahala), dan ini harus diupayakan semaksimal mungkin sebagai seorang Muslim, karena celaan dan pujian Allah di atas segala-galanya. Sebab malu karena Allah adalah perwujudan dari pengimanan seorang hamba. Semakin kita merasa malu kaerna Allah, maka semakin kita merasa bahwa penguasaan Allah hangat menyelimuti. Sebagaimana firman-Nya,
óOs9r& Ls>÷ètƒ ¨br'Î/ ©!$# 3ttƒ ÇÊÍÈ
“Tidaklah dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-‘Alaq: 14)
Dan firman-Nya,
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇÍÉÈ
“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fussilat: 40)
Dari inilah, rasa malu harus menjadi karakter seorang Mukmin (khususnya para wanita), Karen amlu tidak mendorong kecuali kepada kebaikan. Nabi saw bersabda;

“Malu tidak mendorong kecuali kepada kebaikan.” (HR. Bukhari Muslim)
Sebagai wujud pengimanan, selayaknya rasa malu menjadi bagian utama bagi setiapo wanita Muslimah, karena malu tersebut akan menjadi tameng diri dan kehormatannya. Seorang yang tidak memiliki rasa malu, sudah barang tentu kehormatannya tidak pernag akan terjaga, bahkan karena itu pula dengan bijak ia sengaja melepaskan kehormatannya. Padahal nabi saw telah menjanjikan bagi seorang yang memiliki rasa malu dan gagap berbicara, sehingga menyebabkan ia malu untuk berkata-kata akan mendekatkan dirinya ke surga dan menjauhkan neraka darinya.
Dari Abu Umamah, Nabi saw bersabda:

“Malu dan gagap berbicara adalah bagian dari iman, serta bisa mendekatkan diri ke surga dan menjauhkan dari neraka. Sedang berkata buruk dan kotor adalah dari setan dan dapat medekatkan ke neraka serta menjauhkan dari surga.” (HR. Thabrani dalam at-Targhib wa Tarhib).
Bila Rasa Malu Telah Hilang
Kita sudah mengetahui, bahwa memiliki rasa malu merupakan cirri khas para nabi dan rasul, karenanya beruntunglah bagi wanita yang memiliki rasa malu. Rasa malu yang dimiliki oleh seorang wanita karena Allah akan menyelamatkannya dari fitnah dan tercela. Sebaliknya, jika rasa malu sudah tidak ada lagi dalm pribadi seorang wanita, maka segala bencana akan muncul dari mana-mana.
Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah swt apabila hendak membinasakan seseorang, dicabutnya dari seseorang itu sifat malu. Bila rasa malu telah dicabut darinya, engkau akan mendapatinya dibenci orang, malah dianjurkan supaya orang benci padanya, kemudian bila dia telah dibenci orang, dicabutlah sifat amanah darinya. Jika sifat amanah telah dicabut, kamu dapati ia menjadi seorang penghianat. Jika telah menjadi pengkhianat, dicabutnya sifat kasih sayang. Jika telah hilang kasih sayang, maka jadilah ia seorang yang terkutuk. Jika telah menjadi orang terkutuk, maka lepaslah tali Islam darinya.” (HR. Ibnu majah).
Dalam riwayat lain, beliau saw juga bersabda, “Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (HR. Bukhari Muslim).
Inilah kerugian besar (bencana) yang akan didapatkan oleh seorang wanita bila rasa malunya telah hilang. Bahkan, berdasarkan penjelasan hadits di atas, apabila seorang telah hilang rasa malunya maka pada akhirnya ia bisa dianggap sebagai seorang yang telah lepas dari tali Islam. Siapa yang menginginkan lepas (keluar) dari Islam, walau dia seorang penjahat, pelakon maksiat, dan perbuatan tercela lainnya, tiada rela hal itu terjadi pada mereka. Nah sekarang, wahai para wanita, apakan kalian mau menjadi orang yang tidak mempunyai (hilang) rasa malu ?
Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah saw menyindir orang yang telah hilang rasa malu, ”Jika rasa malu telah hilang, maka lakukanlah apa saja oleh kalian sesuaka nafsu kalian.” hal ini mengandung pengertian, jika rasa malu telah hilang, maka seseorang tidak akan mampu menimbang antara halal dan haram, atau antara yang hak dan yang bathil suatu perbuatan (Al-Ghifari, 2004: 74-75).
Bila semua itu telah terjadi demikian, maka tidak ada lagi perbedaan antara manusia dengan binatang, mereka hidup hanya mengedepankan hawa nafsunya. Bahkan ia akan lebih rakus dan kotor dari binatang. Karena inilah Allah swt berfirman,

”Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).(QS. Al-Furqan: 43-44)
Inti dari penjelasan ayat ini, mengisyaratkan bahwa manusia yang hilang rasa malunya, dikategorikan bagai binatang bahkan lebih sesat lagi dari bitang. Na’uzubillahiminzalik.
Wahai wanita-wanita muslimah, mari kembali pada Allah. Tak kurang rasanya penjabaran ini sebagai kecaman dan peringatan untuk menjadi lebih baik. Sebagai wanita, yang sudah kerap dengan sifat malu dan lemah lembut, mari jadikan ia sebagai ciri khas. Jangan pernah pisahkan, dan berniat untuk memisahkannya dari hatimu. Dan jangan lupa, agar menjadikan malu hanya karena Allah swt. Semoga engkau menjadi wanita yang diridhai oleh Allah swt, yang dijamin masuk surga-Nya. Amin Ya Rabbal ’Alamin.
Wallahu a’lam...

Senin, 18 Juli 2011

Wanita: Ingin di Cintai dan di Sayangi; Bag. Ke-2 Cinta dan Sayang


BAGIAN KEDUA
CINTA DAN SAYANG
Oleh: Nayrus El Rayyan


“Ulama’ ma’ani mengatakan,
Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu atau seseorang,
karena lengketnya kecenderungan itu maka disebut shababah
yang apabila melebihi yang seharusnya menjadi asyik dan
jika sampai ke puncak disebut shaghar, atau ketika sudah
samapi menghambakan diri disebut tatayyum.”
*Faisal Tehrani*



Cinta dan sayang adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap manusia, karenanya setiap orang dianugerahi naluri untuk menyayangi dan disayangi. Mengekspresikan (menyalurkan) rasa cinta bukanlah suatu kesalahan, selama masih mengikuti  ketentuan yang telah ditetapkan oleh agama (Islam), begitu juga dengan rasa sayang.
Pengertian Cinta dan Sayang
a.    Cinta
Cinta dapat diartikan sebagai suatu perasaan atau keinginan untuk memiliki sesuatu yang dianggap atau dicitakan bisa menyenangkan, mendamaikan, menenangkan, dan bahkan dapat membahagiakan. Cinta paling tinggi didefinisikan sebagai cinta sejati kepada pencipta segala cinta, yaitu Allah swt. Cinta sejati ini lahir dari hati seorang yang beriman, yang mencintai Allah dengan sepenuh hati dan perasaan, bersikap lemah lembut, dan saling mengasihi sesama manusia.
Cinta adalah kekuatan yang luar biasa, karena dapat membuat seseorang melakukan sesuatu yang terfikirkan oleh akal. Ia juga sebagai pertalian kasih sayang yang mencakup aspek spiritual, perasaan, fisik, intelektual, dan sosial antara individu yang terlihat. Cinta juga berarti kemauan, kesenangan, daya tarik, kerinduan, dan keresahan oleh keterikatan perasaan kepada seseorang atau sesuatu (Kamsah, 2006: 9).
Sungguh cinta yang murni, suci, sunyi dari penipuan dan bersumber dari mata air yang jernih merupakan cita-cita agung. Cita-cita setiap orang yang bertaqwa, harapan setiap pencari kebenaran, dan tujuan setiap perindu ilahi. Cinta suci ini membuka hati yang tertutup, memuaskan jiwa-jiwa yang dahaga, menyatukan kelompok-kelompok yang berselisih, pikiran-pikiran yang berseberangan, dan menunudukkan nafsu amarah, kemudian sang pecinta mendapatkan salam sejahtera dari Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang. “Ya Allah, jangan Engkau halangi kami dari kebaikan yang ada padaMu karena keburukan yang ada pada kami” (Al-Hajjar, 2003: 67-68).
Mendefinisikan cinta tidak dapat difokuskan ke dalam satu pengertian yang pasti, karena pada hakikatnya ia hanya dapat dimaknai oleh orang yang sedang mengalaminya. Namun, cinta yang hakiki adalah sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, yakni cinta karena Allah dan hanya untuk Allah. Sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam al-Qur’an bahwa apa yang ada di sisinya lebih baik daripada cinta-cinta yang bersifat keduniaan.
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali-Imran: 14)
Dalam riwayat Tirmidzi dari Ibnu Abbas, Nabi Muhammad saw bersabda, “Cintailah Allah karena Dia yang mencurahkan nikmat-nikmat-Nya kepadamu; dan cintailah Aku (nabi saw) karena mencintai Allah, dan cintailah keluargaku karena mencintaiku.” (HR. Tirmidzi)
Berikut akan diuraikan cinta menurut al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang dijelaskan oleh Kamsah (2006: 15).
Pengertian cinta menurut al-Qur’an;
Y  Hasrat untuk berpasangan dalam menikmati keindahan dan kelezatan hidup,
Y  Kesenangan dan keinginan terhadap hal-hal yang disenangi,
Y  Berbagi, kemuliaan hati, kasih sayang, hormat, dan ketaatan kepadda yang dicintai,
Y  Cinta yang sejati lahir dari orang beriman yang mencintai Allah sepenuh hati dan perasaan, bersikap lembut, dan aling mengasihi sesama umat Islam.
Pengertian cinta menurut Hadits;
Y  Saling menebarkan salam dan mengucapkan hormat,
Y  Memelihara silaturahim – saling berhubungan dan mengunjungi,
Y  Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan cinta sesama manusia semata-mata karena Allah akan melahirkan kenikmatan spiritual atau kelezatan dalam keimanan.
Pembagian Cinta
Cinta dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu; cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, cinta kepada orangtua, dan cinta kepada sesama. Cinta kepada Allah yakni melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Cinta kepada rasulullah yakni dengan menneladani kepribadiannya dan diterapkan dalam kehidupan. Cinta kepada orangtua yakni dengan berbakti kepadda mereka, dan cinta kepada sesama yakni dengan memelihara hubungan (silaturahim).
Cinta Kepada Allah
Cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban yang mutlak bagi setiap makhluk (manusia), khusunya bagi seorang Muslim. Cinta kepada Allah merupakan wujud dari pengimanan seorang hamba kepada penciptanya. Oleh karena itu, bila manusia tidak mencintai Allah, padahal ia seorang Muslim, maka ia tidak akan pernah merasakan manisnya iman. Sebagaimana Nabi saw bersabda, “Ada tiga hal ketika orang yang memilikinya akan meraakan manisnya iman, yaitu; mencintai Allah dan rasul-nya melebihi segala-galanya, mencintai seorang hanya karena Allah, dan enggan kembali kafir setelah diselamatkan oleh Allah daripadanya, sebagaimana enggannya kalau dilemparkan ke dalam api.” (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan hadits ini, sudah jelas bahwa hanya orang-orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya yang akan merasakan manisnya iman. Bila seorang telah merasakan manisnya iman, tentunya hidupnya akan tenang dan bahagia, dantentunya mendapat jaminan surga dari Allah swt.
Menurut Ibnu Athaillah, cinta hamba kepada Allah adalah suatu sikap mental, sikap yang mendorong manusia untuk mengagungkan Allah.sikap yang selalu mengharapkan keridhaan-Nya. Selalu ingin bertemu dengan Tuhannya. Tidak merasa tenang dengan kemewahan duniawi, hanya Allah yang selalu muncul dalam getar kalbunya. Berzikir, bertasbih, dan bertahmid kepada Allah. Orang yang mencintai Allah selalu menyebut nama-Nya, selalu berttaubat kepada-Nya, berserah diri, dan menerima ketentuan-Nya, serta bersedia meninggalkan nafsu syahwatnya. Bahkan bersedia mengorbankan segala-galanya demi kepentingan Allah (Kamsah, 2006: 209).
Tidak ada apapun yang boleh kita cintai selain Allah, dan mencintai hanya karena Allah. Dialah yang harus dan wajib untuk disembah. Sebagaimana firman-Nya,
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
“ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Tanda-tanda Cinta Allah kepada hamba-Nya
Allah swt berfirman,
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Dan firman-Nya,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!ÏŒr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcrßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Dari uraian ayat di atas, dapat dipahami bahwa tanda-tanda cintanya Allah kepadda hamba-Nya adalah akan diampuninya dosa-dosanya dan iapun (hamba) akan dicintai oleh Allah swt. Bila Allah telah cinta, maka seluruh makhluk ciptaan-Nya – pun akan mencintainya. Sebagaimana dalam sebuah hadits dijelaskan, “Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah memanggil Jibril seraya berfirman, “Allah swt mencintai Fulan, maka cintailah ia.” Kemudian Jibril mencintai orang itu dan berkata kepada penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah ia.” Kemudian penghuni langit mencintai orang itu. Setelah itu, cinta tersebut diteruskan kepada penghuni bumi.” (HR. Bukhari Muslim)
Dalam riwayat lain, Muslim menambahkan, “Dan apabila Allah membenci seseorang, maka Allah memanggil Jibril dan berfirman; “Sesunguhnya Aku (Allah) membenci Fulan, maka bencilah ia.” Kemudian Jibril membenci orang itu. Setelah itu Jibril berkata kepada penghuni langit; “Sesungguhnya Allah membenci Fulan, maka bencilah ia.” Kemudian kebencian tersebut diteruskan kepada penghuni bumi.”
Demikianlah tanda-tanda cintanya Allah kepada hamba-hamba-Nya. Ia akan dicintai oleh para Malaikat, penghuni langit, dan akan dicintai oleh penghuni bumi (manusia dan makhluk lainnya).
Cinta kepada Rasulullah
Cinta kepada Rasulullah merupakan prasyarat atas kesempurnaan iman, sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas ra, “Seseorang di antara kamu tidak masuk dalam perkiraan (kategori) beriman sehingga (ia) menempatkan Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari Muslim).
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda;
اِنَّمَا بُعِثْتُ لِاُتَمِّمَا مَكَارِمَ اْلاَخْلَاقِ
 “Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad)
Meneladani pribadi rasulullah aalah sebuah keharusan bagi setiap manusia (sebagai pengikutnya). Oleh karena itu, selayaknya untuk senantiasa bershalawat kepada beliau, sebagai tanda kecintaan kepada beliau. Menjalankan sunnahnya tanpa harus mencari asal-usulnya, karena setiap apapun yang dilakukan atau diperbuat oleh rasulullah semuanya adalah benar dan pasti ada hikmahnya.
Allah swt berfirman,
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Dan firman-Nya,
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ  
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Rasul adalah Teladan yang Sempurna
Tidak ada teladan yang paling baik di dunia ini yang patut untuk diikuti, kecuali keteladanan Nabi Muhammad saw. Setiap apapun yang dilakukan dan yang diperbuat oleh Nabi saw adalah baik, dan itu adalah sunnah yang harus diikuti dan dilakukan.
Rasulullah saw adalah manusia terbaik, dia tidak melakukan apapun melainkan yang baik dan benar. Ia sangat penyayang, pemaaf, sopan santun, murah senyuman, dan lain sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Abdullah bin Harits bin Jaz’in, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih banyak senyumnya dibanding Rasulullah saw.” (HR. Turmudzi).
Berikut sebuah kisah yang dicerikan oleh seorang pembantu nabi tentang kesantunan beliau terhadap pembantunya (al-Qasim, 2009: 110). Anas bin Malik berkata;
خَـدَ مْـتُ  رَسُوْلُ اللهِ  صَـلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّــمَ عَـشْـرَ سِنِيْـــنَ فَـمَا قَــالَ لِى: أُفٍّٔ،  قَـطُّ ، وَمَا قَــالَ لِشَيْءِ صَنَعْتُهُ : لِـمَ صَنَعْتَهُ ؟  وَلَا لِـشَيْءٍ تَرَكْـتُهُ : لِـمَ تَرَكْـتَهُ ؟
“Aku menjadi pembantu Rasulullah selama sepuluh tahun. Selama itu beliau tidak pernah berkata ‘ah’ kepadaku. Tidak pernah mengomentariku karena suatu pekerjaan dengan mengatakan, ‘Kenapa engkau mengerjakan hal itu?’ Dan juga belum pernah mengomentari sesuatu yang tidak aku selesaikan dengan mengatakan, ‘Kenapa kamu tidak mengerjakannya?’.” (HR. Muslim)
Inilah akhlak mulia serta suri teladan dari Rasulullah saw yang harus diikuti dan dijaddikan pelajaran. Agar menjadi manusia yang terbaik dan mendapat pahala dari Allah swt, serta dimasukkan ke dalam surga-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Cinta kepada Orangtua
Cinta kepada orangtua adalah kewajiban bagi seorang anak. Berbakti dan berbuat baik kepada mereka adalah salah satu bukti cinta seorang anak kepada keduanya. Anjuran untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtua telah dituliskan dalam al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya,
* 4Ó|Ós%ur y7/u žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $·Z»|¡ômÎ) 4 $¨BÎ) £`tóè=ö7tƒ x8yYÏã uŽy9Å6ø9$# !$yJèdßtnr& ÷rr& $yJèdŸxÏ. Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ   ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ  
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al-Isra’: 23-24)
Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orangtua adalah amal yang paling disukai oleh Allah swt, dan ini adalah perintah yang diberikan-Nya kepada setiap anak. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud berkata, “Saya bertanya kepada Nabi saw; ‘Apakah amal yang paling disukai oleh Allah swt?’ Beliau menjawab, ‘Shalat pada waktunya.’ Saya bertanya, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Berbuat baik kepada kedua orangtua.’ Saya bertanya, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab, ‘Berjuang padda jalan Allah’.” (HR. Bukhari Muslim).
Cinta kepada Sesama
Memelihara silaturahim merupakan salah satu bentuk dari cinta kepada sesama, merendah diri juga termasuk bagian darinya. Saling tolong-menolong, berbuat baik, menjaga dan memelihara keamanan dan kedamaian di antara sesama juga sebagai bukti cinta kepada sesama, terlebih bila sesama Muslim.
Allah swt berfirman,
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ  
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara  kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Dan firman-Nya,
Èßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$#   
“... dan perdamaian itu lebih baik (bagi  mereka) walaupun  manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (QS. An-Nisa’: 128)
Kemudian dalam ayat lain Allah swt juga berfirman,
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong  dalam  berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah  kamu  kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim).
Demikianlah perintah dan ajaran dari Allah swt dan Rasulullah saw agar cinta kepada sesama (ukhuwah Islamiyyah). Karena sebagai makhluk sosial, setiap manusia pasti membutuhkan orang lain, baik dalam keluarga, masyarakat, tetangga, saudara, teman, dan lain sebagainya.
b.    Sayang
Sayang (kasing sayang) adalah perasaan ingin dibelai, dimanja, dijaga, dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Sudah tidak diperdebatkan lagi bahwa setiap orang memerlukan dan membutuhkan kasih sayang, sejak lahir hingga menghembuskan nafas yang terakhir. Kasih sayang adalah perasaan suci murni yang menuntut perhatian dan penghargaan dari orang-orang di sekelilingnya. Jiwa dan raga menjadi subur dan kuat apabila kehidupan diceritakan dengan kasih sayang, kehidupan menjadi pincang dan selalu ada kesalahan (Kamsah, 2006). Kekeringan kasih sayang menyebabkan hilangnya rasa cinta. Bila rasa cinta telah hilang maka tiada lagi yang bernilai agama (religius). Tatkala tak ada lagi nilai-nilai agama dalam diri, maka keluarlah ia dari Islam.
Kasih sayang, atau dalam bahasa al-Qur’an ‘rahmat’ ada dua macam. Ada yang berhubungan dengan hak Allah dan ada yang berhubungan dengan makhluk. Curahan rasa cinta kasih, betapapun kecil yang kita berikan kepada seseorang (terlebih kepada Allah), dapat menjamin kemudahan jalan kita menuju surga-Nya.
1.       Kasih Sayang Allah
Kasih sayang yang berhubungan dengan Allah, yaitu kasih sayang yang merupakan sifat dari zat Allah yang tidak terbilang jumlahnya, sebagaimana firman-Nya,
ÓÉLyJômuur ôMyèÅur ¨@ä. &äóÓx« ÇÊÎÏÈ ...  
“Dan rahmat-Ku (kasih sayang) meliputi segala sesuatu..."(QS. Al-A’raaf: 156)
Dan juga kasih sayang yang merupakan sifat dari pekerjaan Allah (fi’il-Nya). Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah menjaddikan rahmat (kasih sayang) sebanyak seratus rahmat pada hari Dia menjadikan rahmat itu.” (HR. Bukhari)
Ini berarti kasih sayang Allah adalah kasih sayang yang mencakup segala sesuatu itu, termasuk bagian sifat Allah yang selalu ada dan tidak bisa dibagi, dipilah, atau dikelompokkan. Berbeda dengan rahmat (kasih sayang) Allah yang Dia ciptakan untuk hamba-Nya dan meletakkan kasih sayang (pen) itu dalam hati mereka (ash-Shagharji, 2004: 51-52). Sebagaimana Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah menjaddikan seratus rahmat ketika Dia menciptakan langit dan bumi. Setiap rahmat bersusun antara langit dan bumi.”
2.       Kasih Sayang Makhluk
Kasih sayang yang berkaitan dengan kecenderungan hati yang diiringi dengan rasa cinta dan sayang kepada semua yang dikasihi, dan dibuktikan dengan tindakan nyata, seperti memberi makan kepada yang lapar, memberi pakaian mereka yang telanjang, menyelamatkan mereka yang ada dalam bahaya, membela orang yang teraniaya, dan menunjukkan orang yang bingung menjawab (mengajari) orang yang bertanya tentang agama.
Seperti apa yang dikatakan oleh Jalaludin Ar-Rumi dalam Al-Hallaj (2003), “Jika tidak ada cinta, peradaban dunia akan membeku. Cinta bagaikan lautan; seluas dan sedalah daya jelajah hati nurani manusia itu sendiri. Cinta dan sayanglah yang seharusnya menjadi dasar utama bagi hubungan antara manusia, kebudayaan, bangsa, dan sistem hidup yang berbeda.”
Seorang sufi besar yang telah terbukti cintanya kepada yang Maha menciptakan cinta, mengecam orang yang mengaku cinta tetapi tidak membuktikan cintanya dengan sejati dan benar. Dialah Rabiatul Adawiyah, dalam syairnya menyebutkan;
“Engkau durhaka kepada Tuhan,
sedangkan engkau mengaku cinta kepada-Nya.
Ini adalah yang mustahil dan merupakan cinta palsu.
Sekiranya cinta kamu benar,
pasti kamu taat kepada-Nya.
Engkau yang menjalin hubungan cinta akan tunduk pada yang dicintainya.”
(Kamsah, 2006: 234)
Jarir bin Abdillah al_Bajali meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda;

“Barangsiapa yang tidak mengasihi manusia, maka Allah Azza Wajalla juga tidak akan mengasihinya.” (HR. Muslim)
Dan dari Abu Hurairah, beliau bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda;
لَا تَـــنْزَعُ الـرّحْمَةُ إِلَّا مِنْ شَقِيٍّ
“Rahmat (kasih sayang) tidak akan dicabut kecuali dari orang yang celaka.” (HR. Abu Dawud)
Banyak yang berubah di dunia ini karena ada kasih sayang. Banyak pula yang berganti lantaran tak ada kasih sayang. Ia memang pilar penting dalam kehidupan ini. Berikut diuraikan betapa pentingnya kasih sayang dalam kehidupan.
Menyayangi adalah sari pati ajaran Tauhid
Bagi seorang Muslim, soal kasih sayang bukanlah suatu hal sederhanan. Sebab, secara substansi kasih sayang merupakan sari pati ajaran tauhid.
Rasulullah saw bersabda,
عَـنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ اْلنَّبِيٍّ صَــلَّى اللهُ عَـلَـــيْهِ وَسَــــلَّم قَالَــــ : لَا يُــؤْمِنُ اَحَـدُ كُــمْ حَــتَّى يُحِـبُّ لِاَخِـيْهِ مَا يُحِـبُّ لِـنَفْـسِهِ
“Dari Anas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda; ‘Salah seorang di antara kamu sekalian tidaklah sempurna imannya sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari Muslim)
Menyayangi merupakan langkah dasar untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka
Bila kita sayang terhadap diri dan keluarga, tentu kita ingin bersama-sama masuk ke surga. Tidak ada seorangpun di dunia ini menginginkan sesuatu yang jelek terhadap diri dan keluarganya, apalagi untuk terjerumuskan ke dalam kenistaan dan kehinaan di mata Allah swt, yang pada akhirnya mendapat ganjaran dengan neraka. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada kita agar senantiasa menjaga diri dan keluarga agar terhindar dari api neraka, sebagaimana firman-Nya;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur ... ÇÏÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu...” (QS. At-Tahrim: 6)
Kemudian Allah juga menjanjikan kepada mereka berkumpul bersama nantinya, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, “Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun daripada amal mereka.” (QS. Ath-Thur: 21).
Kuncinya hanya dengan iman, yakni hanya berserah diri pada Allah swt semata. Menjalankan ajaran Islam secara sempurna, mengerjakan semua perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Menyayangi akan mengantarkan kepada persatuan
Dalam Islam, kasih sayang dalam pengertian kolektif memiliki wadah besar bernama ukhuwah atau persaudaraan. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang Muslim untuk menjalin dan memupuk persaudaraan (ukhuwah islamiyah). Memupuknya adalah dengan sikap lemah lembut dan sopan santun. Sebagaimana Allah swt berfirman, “Maka disebabkan rahmat Allah, kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekira kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri darri sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka.” (QS. Ali Imran: 159).
Menyayangi akan menjadi penyambung utama kehidupan
Keberlangsungan hidup manusia tidak akan pernah lepas dari kasih sayang. Sebab, dunia ini ada karena ada kasih sayang, dan ia tetap ada selama masih ada kasih sayang. Ketika kasih sayang hilang, cepat atau lambat kehidupan akan berhujung kepada kepunahan. Ketika kasih sayang tercabut dari kehidupan bersama, maka bencana kehilangan yang begitu mengerikan akan segera datang.
Maka berikanlah kasih sayang kepada sesama, tidak harus memandang siapa orangnya, yang terpenting berkasih sayanglah kita kepada sesama umat Islam. Dengan demikian, sedikit banyak akan memberikan andil bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan ini (Tarbawi, 2003: 9-11).
3.       Virus Kasih Sayang
Virus ini, sedapat mungkin dengan usaha yang sungguh-sungguh harus kita hindari dan harus dibuang  sejauh mungkin. Jangan sampai ada sedikitpun ia melekat dalam diri kita, karena ia kan menjadikan hilangnya kasih sayang. Virus tersebut sebagi berikut;
|  Penyakit hati, yaitu;  dengki, sombong, iri, amarah, dan penyakit hati lainnya akan meredupkan kasih sayang. Rasulullah saw bersabda, “Kedengkian akan memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Ibnu Majjah).
|  Latar belakang kejiwaan, yaitu kehilangan kasih sayang yang disebabkan seseorang memiliki latar belakang kejiwaan (kebiasaan) yang keras dan kasar.
|  Godaan syetan, yang tak pernah lelah untuk menggoda manusia, berbagai cara dilakukan agar terjadi perseteruan di antara sesama manusia, hingga pada akhirnya bagi yang lemah akan terjerumus ke dalam kesesatan.
|  Hawa nafsu, inilah virus yang paling sulit untuk dideteksi, bentuk dan rupanya tidak bisa dilihat, juga tidak dapat digambarkan dengan pasti. Ia bisa dalam bentuk berlebihan pada saat memberikan kasih sayang tersebut. Awalnya baik, tetapi hawa nafsu menjadikannya menyimpang dari niat awalnya. Bahkan bisa menyeretnya ke jalan yang salah dan menjadikannya kasih sayang yang haram (yang dilandasi atas dasar hawa nafsu, bukan karena Allah). (Tarbawi, 2003: 11).
Wanita Ingin Dicintai dan Disayangi
Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa manusia ingin mencintai dan dicintai. Cinta diterima sebagai kebutuhan hidup dan juga sebagai jalan untuk mengenal dan mengagungkan Allah swt. Sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an, firman-Nya,
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ  
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz-Dzariyat: 49)
Demikian juga halnya dengan wanita, selalu ingin dicintai, dikasihi, dan disayangi oleh siapapun, baik sebagai seorang ibu, anak, ataupun ia sebagai seorang istri.
1.       Sebagai Seorang Ibu
Selain melahirkan, tugas seorang ibu sangatlah berat, ia harus merawat dan mendidik anak yang telah dilahirkannya agar menjadi anak yang shalih dan shalehah, juga pandai berbakti. tidak hanya itu, ia juga merawat keluarga, suami, dan harta suaminya. Semua itu dilakukan tanpa meminta dan mengharapkan imbalan, atau balasan atas apa yang telah dilakukannya.
Di samping tugasnya yang begitu berat, walau ia tak mengharap balas dan imbalan dari tugas tersebut, sebagai seorang wanita ia tetap membutuhkan cinta dan kasih sayang, terutama dari suami dan anak-anaknya. Tak ada seorangpun yang tidak menginginkan kasih sayang, demikianlah ibu, ia selalu ingin dicintai dan disayangi, love forever.
Seorang suami, kasih sayang yang harus diberikannya adalah membahagiakannya di dunia dan di akhirat sebagai yang utama. Ia juga harus menjamin keselamatan, menjadi tempat perlindungan, dan memenuhi nafkahnya lahir dan bathin.
Dia juga harus tahu bagaimana memperlakukannya dan menunaikan hak-haknya semampunya dengan penuh kasih sayang. Tidak pernah lupa untuk senantiasa berterima kasih kepadanya atas bantuan, pendidikannya terhadap anak-anak, dan atas pekerjaan rumah. Dengan terima kasih (pujian) yang sering diucapkan kepadanya akan memberikan semangat baru, sehingga membuatnya tidak menjadi malas dan jemu.
Selalu peka dan penuh cinta kasih terhadap istrinya. Kata-kata cinta dan kasih sayang sering keluar dari lisannya, sehingga dapat menyenangkan dan mendamaikan hati istrinya. Sebagai seorang suami, ia tidak hanya pandai menghibur, ataupun cukup hanya dengan memenuhi kebutuhan lahir bathinnya, tetapi semua hal harus dimilikinya (berusaha menjadi manusia yang multi fungsi atau super power bagi istrinya, insya Allah).
Sedang sebagai anak, ia harus berbakti kepadanya (ibu) dengan cara berbuat baik dan menyenangkan hatinya. Selain itu, sebagaimana harapan semua orangtua terhadap anaknya adalah agar mereka menjadi  anak yang shalih dan shalihah.
Mengingat jasa orangtua, teruatama ibu yang telah berjuang mengandungnya selama sembilan sepuluh hari dengan mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya. Tak pernah ia mengharapkan balasan dari anaknya; dengan ikhlas, merupakan sebuah kebahagiaan yang telah lama dinantikan. Setelahnya, ia dirawat, dididik, dinafkahi, dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
Karena jasanya yang besar itulah, Allah swt sangat besar pula perhatian terhadapnya (termasuk ayahnya; orangtua), sehingga Dia (Allah) mengaitkan berbakti dan berbuat baik kepadanya dengan ibadah dan tauhid kepada-Nya.
Allah swt berfirman,
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) 玍ÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ  
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah  kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Dan firman-Nya,
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·qãsù ÇÌÏÈ  
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah  kepada dua orang  ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan  teman sejawat, Ibnu sabil,  dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’: 36)
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Beraktilah kepada orangtuamu, niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu, dan peliharalah kebersihan dirimu, agar istrimu memelihara kebersihannya.” (HR. Thabrani).
Kemudian diriwayatkan dalam hadits lain, bahwa pada suatu hari ada seorang laki-laki datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepada beliau, “Siapakah orang yang paling berhak saya pergauli (berbakti) dengan baik?” “Ibumu”, jawab Nabi saw. “Kemudian siapa lagi?” “Ibumu”, jawab Nabi saw. “Kemudian siapa lagi?” “Ibumu”, jawab Nabi saw. “Kemudian siapa lagi?” “Ayahhmu”, jawab Nabi saw.” (HR. Bukhari Muslim).
Demikianlah perintah Allah dan Rasulullah kepada seorang anak agar berbakti kepada ibunya, baru kemudian kepada ayahny. Sungguh mulia, hingga Nabi saw memerintahkan agar lebih mengutamakan berbakti kepada ibu, bukan kepada ayah. Begitulah tugas seorang anak kepada kedua orantunya, agar berbakti dan berbuat baik kepadanya.
2.       Sebagai Seorang Anak
Selain sebagai ibu, wanita sebagai anak juga ingin dicintai dan disayangi. Ia sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtuanya, terutama dari ibunya. Anak adalah permata keluarga, permata yang paling berharga di dunia. Karena nantinya, jika orangtuanya telah tiada, ia adalah sebagai jariyah bagi keduanya. Anak menjadi jariyah bagi mereka tatkala anak adalah anak yang shalih dan shalihah. Sedang, menjadikan anak untuk jadi anak yang sahlih dan shalihah adalah tanggungjawab kedua orangtua. Karena pada hakikatnya anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), sebagaimana Nabi saw bersabda;
“Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasannya Rasulullah saw bersabda; “Tidaklah seorang yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci dari kesalahan dan dosa), maka oarangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, nasrani, dan Majusi.” (HR. Muslim).
Ummu Fudhail bercerita, suatu ketika dia datang ke rumah Rasulullah saaw dengan membawa seporang anak. Nabi menyambutnya dengan gembira seraya mengembangkan tangannya dan mengangkat anak tersebut ke atas pangkuannya. Tiba-tiba anak itu kencing. Ummu Fudhail langsung merenggut anak itu dengan kasar. Seketika itu Nabi saw langsung menegur wanita tersebut seraya mengingatkannya, “Saudariku, pakaian yang basah ini bisa dibersihkan dengan air. Tapi apa yang bisa menghilangkan kekeruhan dalam jiwa sang anak akibat renggutanmu yang kasar itu?” (Gunadi (pen.), dkk., 2002: 89).
Kisah ini menggambarkan betapa pentingnya berhati-hari dalam memelihara jiwa anak. Jangan sampai mengesankan kekasaran dan kekerasan yang dapat dibawanya sampai dewasa. Berapapun usianya, seorang anak adalah manusia yang memiliki jiwa, perasaan, dan kepribadian lainnya.
Orangtua yang memperlakukan anak-anak wanitanya dengan baik, bersabar dalam mengasuh mereka, mendidik dengan cara yang baik, serta selalu memperhatikan hak Allah pada diri mereka hingga mencapai usia dewasa atau hingga orangtua meninggal, dijanjikan oleh Rasulullah akan mendapatkan balasan surga, bahkan akan di tempatkan kedudukannya di dekat beliau saw di perkampungan yang penuh dengan kenikmatan dan kekal abadi selamanya.  Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa nantinya ia akan menjadi amal jariyah untuk mereka.
Orangtua tidak berwenang untuk menjual atau memberikan hak kepemilikan anak perempuannya kepada orang lain dalam keadaan bagaimanapun. Sebab, Islam telah menghapuskan jual beli orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, dalam bentuk apapun termasuk anak. Apabila dia memiliki harta sendiri, kewajiban orangtua adalah mengawasi harta tersebut dengan cara yang baik dan bijak (Al-Qardhawi, 2006: 97).
Begitulah wanita sebagai seorang anak, ia senantiasa membutuhkan kehangatan kasih sayang, perlindungan, pendidikan, dan lain sebagainya, yang tujuannya agar menjamin dirinya bertemu dengan Sang Penciptanya, yaitu Allah swt. Kemudian masuk ke dalam surga-Nya, kekal abadi di dalamnya.
3.       Sebagai Seorang Istri
Wanita tak pernah lepas dari kasih dan sayang, ia ingin selalu dicintai, disayangi, dimanjakan, dihormati, dihargai, dan dipuji, serta diberikan perlindungan dan kedamaian. Semua hal tersebut tentunya ia harapkan dari pasangannya, suami tercinta, I love you forever.
Istri sangat membutuhkan ketenangan dan perlindungan dari pasangannya, di manapun dan kapanpun. Tak mengenal waktu dan suasana. Karena ia ingin di semua suasana ada perhatian dan pujian untuknya. Dan yang terpenting untuknya hanyalah damai, romantis, harmonis, dan bahagia. ‘Suamiku, engkau adalah segalanya untukku, dan engkau selalu ada dalam hatiku’.
Sebagai ciptaan yang sempurna, wanita sebagai istri secara psikologis, menurut Abu Al-Ghifari (2004: 132), lebih banyak mendapat tekanan (stress), karena tugasnya yang begitu berat. Oleh karena beratnya tugas tersebut, Islam menghibur mereka agar tabah, karena pahalanya sederajat dengan laki-laki yang maju ke medan perang (syahid). Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Siapa di antara kalian (para istri dan ibu) ikhlas tinggal di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya, maka ia akan memperoleh pahala yang kadarnya sama dengan pahala para mujahidin di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).
Dan dalam hadits yang lain, beliau saw juga bersabda, “Ada empat perkara yang barangsiapa diberi keempat perkara itu berarti ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat; hati yang bersyukur; lisan yang berzikir; kesabaran dalam menghadapi cobaan; dan istri yang tidak berkhianat terhadap dirinya sendiri dan tidak pula terhadap suaminya.” (HR. Thabrani).