ORIENTASI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM ERA MODERNISASI
Oleh: Suryan
Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh system pendidikan Kolonial Belanda, yang telah melekat beratus-ratus tahun lamanya hingga sekarang. Membicarakan tentang pendidikan Islam juga tidak terlepas dari seputar dunia pesantren, yang merupakan indigenous (pendidikan asli Indonesia). Meminjam pendapat Steenbrink dalam Qomar (Pesantren: 63), bahwa “system pesantren yang sering disebut system pendidikan asli Indonesia dapat menyaingi pendidikan Barat yang materialis dan bertujuan menyiapkan tenaga untuk fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat.” Akan tetapi, mana mungkin hal demikian dapat terwujud jika kita hanya berfikiran yang serba pragmatis. Pada awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan pendidikan sekolah sebagai mainstraim system pendidikan nasional (Rohim, 2001: 9). Secara pragmatis, hal ini dilakukan untuk memudahkan pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut. Ahmad Tafsir (1994) menyatakan bahwa pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba (‘abd) dihadapan Kholik-Nya dan sebagai ‘pemelihara’ (khalifah) pada semesta.
Menurut GBHN 1999-2004, arah baru kebijakan pembangunan pendidikan adalah:
- Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia berkualitas tinggi dan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
- Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga pendidikan.
- Melakukan pembaharuan sistem kurikulum, berupa deverifikasi kurikulum untuk melayani keberagamaan peserta didik. Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta deverifikasi jenis pendidikan secara profesional (Depag RI, 2003: 61).
Orientasi Paradigma Pendidikan Islam
Paradigma secara sederhana diartikan sebagai cara pandang dan cara berfikir. Paradigma sebagai dasar sistem pendidikan adalah cara berfikir atau sketsa pandang menyeluruh yang mendasari rancang bangunan suatu sistem pendidikan. Paradigma pendidikan Islam cenderung pada; sentralistik, kebijakan lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, karena pendidikan didesain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan, serta teknologi perakitan. Untuk itulah, pendidikan Islam harus mengembangkan orientasinya dalam beberapa ha sebagai berikut:
- Pengembangan hidup yang berorientasi kepada keimanan dan ketakwaan terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa;
- Pengembangan hidup yang berorientasi kepada kehidupan masyarakat/sesama manusia; dan
- Pengembangan yang berorientasi kepada lingkungan alam sekitar.
Hujair Ah Sanaky (2003) menjelaskan, untuk pengembangan pendidikan Islam harus mengembangkan empat konsep sebagai berikut; Pertama, Mengembangkan konsep pendidikan integralistik, yaitu pendidikan yang secara utuh berorientasi pada nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, dan alam pada umumnya sebagai suatu integralistik bagi perwujudan kehidupan yang rahmatan lil’alamin. Kedua, Mengembangkan konsep pendidikan humanistik, yaitu pendidikan yang berorientasi dan mendorong manusia sebagai manusia, hak untuk menyuarakan pendapat walaupun berbeda, mengembangkan potensi berfikir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaa. Ketiga, Menngembangkan konsep pendidikan pragmatis, yaitu memamdang manusia sebagai makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya, baik jasmani maupun rohani, serta mewujudkan manusia yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Keempat, Mengembangkan konsep pendidikan yang berakar pada budaya yang akan dapat mewujudkan manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada kemampuan sendiri, membangun budaya berdasarkan budaya sendiri dan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Artinya, sebagaimana merujuk pada tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk memberdayakan dan mencerdaskan masyarakat bangsa yang beriman dan berakhlak mulia, maka intuisi pendidikan Islam dalam mengembangkan pendidikannya jangan mudah terkooptasi oleh pengaruh pendidikan dari luar, dengan tidak mengenyahkan sisi positifnya. (2007)