Kamis, 30 Juni 2011

Wanita: Ingin di Cintai dan di Sayangi: Bag. Ke-1 SEKILAS TENTANG WANITA


BAGIAN PERTAMA
SEKILAS TENTANG WANITA
Oleh: Nayrus El Rayyan

Dunia ini adalah perhiasan,
dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalehah
*HR. Muslim*


Wanita memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan ini, tak ada suatu apapun yang luput darinya, terlebih bagi laki-laki. Tak dapat dipungkiri bahwa peran vital kaum wanita bagi eksistensi dan kemajuan sebuiah peradaban sangat penting. Karenanya, tidak berlebihan jika sebuah ungkapanmenyebutkan, “Jika waita di suatu bangsa baik, maka baik pulalah sekluruh bangsa itu. Sebaliknya, jika hancur ia, hancur pulalah bangsa itu.”
Banyak kalangan juga menyatakan bahwa wanita adalah setengah dari masyarakat, sehinga tidak selayaknya masyarakat tersebut mengabaikanya, mensterilakn, menganiaya, dan mengeliminir hak-hakya. Selain itu, wanita juga sangat memberikan pengaruh yang sangat signifikan, terutama terhadap keluarga, baik positif maupun negatif.
Sekian banyak kalngan, baik ulama, intelektual, tokoh pembaharu, da’I, dan pendidik telah menaruh perhatian yang demikian serius terhadap persoalan wanita. Mereka menyerukan agar memenuhi hak-haknya, memuliakannya, serta tidak bersikap aniaya, ataupun keras terhadap mereka (al-Qardhawi, 2006: 4).
Untuk sebuah wawasan, berikut akan diuraikan secara singkat kedudukan wanita pada masa pra Islam dan kedudukannya dalam Islam.
Wanita Pra Islam
Sebelum datangnya Islam, Arab pada waktu masa jahiliyah. Pada masa itu, bangsa Arab memiliki sejumlah karakter khusus dan terdapat karakter umum bagi masayarakat lainnya. Manusia melewati masa-masa diutusnya para rasul dan mendapat pelajaran dalam berbagai masa. Mereka (orang-orang Arab) dalam keadaan kesyirikan dan kekafiran yang nyata. Pada waktu itu, mayoritas wanita hidup dalam kesulitan, khususnya masyarakat Arab. Mereka membenci kehadiran bayi wanita dan menguburkannya hidup-hidup hingga mati di dalam tanah. Sebagian dibiarkan hidup, tetapi hidup dalam kenistaan dan kehinaan (al-Fauzan, 2010: 3).
Allah swt berfirman:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59)
Yang tragis, meski selamat dari penguburan itu, anak-anak perempuan itu tetap hidup dalam keadaan terhina. Dia tidak banyak hak atas warisan kerabatnya, walau hartanya melimpah, padahal ia dalam kefakiran serta sangat membutuhkannya. Mereka (orang jahiliyah) mengkhususkan warisan hanya bagi para lelaki, dan wanita tidak ada bagiannya.
Pada masa itu wanita tidak memiliki hak sedikitpun. Para lelaki memiliki banyak istri tanpa adanya batasan, dan mereka tidak dibebani atas suatu yang telah ia perbuat terhadap istrinya, baik berupa penzhaliman, penyiksaan, kesalahan, kesulitan, maupun perbuatan aniaya lainnya (al-Fauzan, 2010: 4). Mereka (wanita) bagaikan barang dagangan dan harta warisan, yang apabila suaminya meninggal ia dapat diwariskan. Begitu tak berdaya dan hinanya wanita masa jahiliyah, seperti tak dianggap sebgai manusia (bagaikan sampah atau barang).
Wanita Dalam Islam
Islam dating ketika sebagian masyarakat mengingkari eksistensi kemanusiaan wanita. Sebagian dari mereka bersifat skeptis terhadap kemanusiaan wanita, sedang sebgain yang lain mengakui sebatas persepsi wanita sebagi makhluk pelengkap yang diciptakan untuk melayani laki-laki.
Islam telah menetapkan kemuliaan wanita dan mempertegas jati diri kemanusiaannya, sehingga berhak mendapat tanggungjawab, balasan, dan juga berhak masuk surga tentunya. Islam mengukuhkan wanita sebagai manusia mulia dan terhormat, yang karenanya ia mempunyai hak kemanusiaan yang dimiliki oleh laki-laki (al-Qardhawi, 2006: 9). Islam pulalh yang menghapus penzhaliman terhadap wanita dan mengembalikan hak mereka sebagi manusia seutuhnya, karena pada dasarnya wanita dan laki-laki bermula dari satu asal. Sebagaimana dalam firman Allah swt,
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Allah menempatkan kaum wanita setara dengan dengan kaum laki-laki, seperti halnya  setara dalam hal pahala dan hukuman berdasarkan amal masing-masing, sebagimana dalam al-Qur’an Allah swt berfirman,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. Tidak ada pembeda di antara keduanya, kecuali dalam hal ketaqwaan kepada Allah swt. Karena taqwa hanya Allah swt yang mengetahui siapa yang paling sempurna dan siapa yang tidak.
Rasulullah saw bersabada,
 “Dari Abu Dzar ra. sesungguhnya Nabi saw bersabda kepadanya, “Lihatlah! Sesungguhnya engkau mulia bukan karena warna kulit yang merah ataupun hitam, tetapi engkau mulia karena taqwa.” (HR. Ahmad).
Jika pada masa jahiliyah wanita dijadikan sebagi barang warisan, tetapi tidak ketika Islam telah datang. Allah mengharamkan anggapan bahwa wanita adalah termasuk barang warisan dari seorang suami yang telah wafat, sebagaimana firman-Nya,
“ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)
Ayat ini tidak berarti bahwa jika tidak ada paksaan diperbolehkan mewariskan wanita. Sebagaimana menurut sebagian adapt jahiliyah apabila seorang suami meninggal, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dinikahi sendiri atau dinikahkan dengan orang laen yang maharnya diambil oleh pewaris, atau ia tidak diperbolehkan menikah lagi (Alhidayah, tt: 81).
Kemudian Islam juga menjamin bagi wanita kebebasan pribadi dan menjadikannya ahli waris (bukan barang warisan). Ia juga akan mendapatkan warisan, baik sebagi seorang ibu, anak, saudara, dan istri. Allah swt berfirman,
” Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta.” (QS. An-Nisa’: 11)
Dalam persoalan pernikahan, Allah membatasi seorang laki-laki menikah paling banyak hanya dengan empat orang wanita saja, dengan syarat berlaku adil, sesuai kemampuan dan kebutuhan di antara istri-istrinya (QS. An-nisa: 3). Allah juga menjadikan mahar sebagai hak bagi kaum wanita dan memerintahkan untuk memberikan kepadanya seluruh mahar tersebut, kecuali ia ingin memberikan sebagiannya kepada suaminya dengan sepenuh hati (al-Fauzan, 2010: 5-6).
Allah swt berfirman,
“ Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)
Ayat ini menurut Abu Shalih, diturunkan sehubungan dengan kebiasaan para orangtua (wali) yang menggunakan dan menerima mahar dengan tanpa seizing putrinya. Kemudian Allah melarang perbuatan ini. (HR. Ibnu Abi Hatim dalam Alhidayah, tt: 78).
Demikianlah Islam memuliakan kaum wanita. Tak terkecuali siapapun, baik ia sebagi ibu, anak, ataupun istri. Mereka dihargai, dihormati, dan diberikan haknya sebagaimana laki-laki dalam hal kemanusiaan. Tak hanya itu, Islam juga menjamin bagi wanita (sebagi istri dan ibu) yang berbakti kepada suaminya dengan surga, yang dapat dia masuki dari pintu manapun yang ia kehendaki, sebagaimana sabda Nabi saw,
 “Jika wanita telah melaksanakan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu manapun yang ia kehendaki.” (HR. Ibnu Hibban).
Keutamaan-keutamaan Wanita
1.      Keutamaan Wanita Quraisy
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik wanita yang menunggang unta (dalam salah satu versi riwayat dinyatakan, “Wanita-wanita Quraisy yang shalih”, dan dalam riwayat lain dinyatakan, “Wanita-wanita Quraisy”). Ia sangat menyayangi anak-anak yatim ketika masih kecil dan sangat pandai mengatur urusan-urusan suami.” (HR. Bukhari Muslim).
Imam An-Nawawi berkata, “Sabda rasulullah saw, ‘Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita-wanita Quraisy’. Ia sangat menyayangi anak-anak kecil dan sangat pandai mengatur urusan-urusan suami.” Hadits ini menunjukkan keistimewaan waita Quraisy dan keutamaan sifat-sifat tersebut, yakni mengasihi anak kecil, mendidik dengan baik, dan mengurus kehidupannya (bila ia seorang anak yatim). Ia juga mengurus hak-hak suaminya yang berkenaan dengan hartanya, menjaga dan bersikap amanah terhadap kekayaannya, pandai mengatur nafkah yang diberikan oelhnya, dan menjaga kehormatannya, serta sifat-sifat lainnya.
Maksud ‘wanita yang menunggang unta’ adalah wanita Arab. Oleh sebab itu, Abu Hurairah ra. berkata, “Maryam binti Imran tidak pernah menunggang unta.” Maksudnya secara umum, wanita-wanita Quraisy adalah adalah wanita terbaik di antara seluruh wanita Arab, sedangkan di sisi lain telah diketahui bahwa pada umumnya, basngsa Arab lebih baik dari bangsa-bangsa lainnya (al-Mishri, 2009: 7).
2.      Keutamaan Wanita Kaum Anshar
Ibrahim bin Al-Muhajir berkata, “Aku mendengar Shafiyyah meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa suatu ketika, Asma’ bertanya kepada Nabi saw tentang cara mandi wajib setelah haid. Rasulullah saw menjawab, ‘Hendaknya seorang di antara kamu menyiapkan air dan daun sidr (digunakan sebagai pewangi). Mulaiah berwudhu dengan sebaik mungkin, lalu basuhlah kepalmu dan remas-remaslah dengan kuat hingga air mengenai pangkal rambut (kulit keapla). Kemudian basuh seluruh badan. Setelah itu, ambillah sikat halus yang telah diberi minyak kasturi dan bersihkanlah dengannya’.
Asma’ bertanya lebih lanjut, ‘Apa maksudmu, membersihkan dengan sikat halus yang telah diberi minyak kasturi itu? Rasulullah saw menjawab, ‘Subhanallah, dia harus membersihkan dengannya.’ ‘Aisyah berkomentar (seakan-akan dia menyembunyikan sesuatu), ‘Engkau bersihkan sisa-sisa darah haidmu dengan sikat itu.’
Asma’ juga bertanya tentang cara mandi wajib karena junub. Rasulullah saw menjawab, ‘Hendaklah seorang wanita mengambil air dan meremasnya (kepala) sehingga air dapat mencapai ke pangkal rambut(kulit kepala), lalu ia membasuh sekujur tubuhnya.’ ‘Aisyah berkata, ‘Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar. Mereka tidak merasa malu untuk lebih banyak mengerti tentang masalah-masalah agama.” (HR. Muslim, Abu Daud, Ibnu Majjah, dan Ahmad).
3.      Keutamaan Istri-istri Nabi saw
Istri-istri Nai (Ummahatul Mukminin) adalah wanita-wanita pilihan. Mereka laksana lentera-lentera yang menerangi jalan kita. Mereka adalah manusia-manusia yang membantu Nabi saw dalam menyampaikan ajaran Islam kepada kita. Mereka adalah sebaik=-baik wanita, karena mereka diberikan keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lainnya.
Di antara keistimewaan-keistimewaan istri Nabi saw, seperti yang diuraikan oleh Hisbah Abdul Karim (2010: 13-22), sebagi berikut.
a.       Mereka adalah Ummahatul Mukminin
“… dan isteri-isterinya (Nabi saw) adalah ibu-ibu mereka (kaum Mukminin).” (QS. Al-Ahzab: 6)
b.      Haram menikahi mereka
“… dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.” (QS. Al-Ahzab: 53)
c.       Sebagian ayat al-Qur’an turun berkenaan dengan mereka
“Hai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.” (QS. Al-Ahzab: 32)
d.      Rumah-rumah mereka menjadi tempat turunya wahyu
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ahzab: 34)
 e.       Mereka merupakan bagian dari Ahlul Bait
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
f.        Mereka lebih memilih Allah dan Rasul-Nya
“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 28-29)
Sebab turunya ayat ini adalah karena pada saat itu para istri Nabi saw yang menuntut nafkah dan perhiasan kepada beliau (lihat Alhidayah, tt: 422).
“Hai isteri-isteri nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barang siapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscata kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan kami sediakan baginya rezki yang mulia.” (QS. Al-Ahzab: 30-31)
g.       Shalawat dibacakan kepada mereka
Rasulullah saw pernah ditanya, “Wahai rasulullah, bagaimana kami membaca shalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ungkapkanlah, ‘Ya Allah, curahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada istri-istrinya serta keturunannya, sebagaimana Engkau melimpahkan berkah kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Mahaagung.” (HR. Bukhari Muslim).
h.       Para sahabat mengetahui keutamaan mereka
Ketika salah seorang istri Nabi saw meninggal, Ibnu Abbas ra bersujud kepada Allah swt. Lalu ia (Ibnu Abbas) berkata, “Sesungguhnya Nabi saw bersabda, ‘Jika kalian melihat tanda (yang ditakutkan), maka bersujudlah.’ Tanda apakah yang lebih besar daripada kepergian istri-istri Rasulullah saw?” (HR. Tirmidzi).